REFLEKSI AKHIR TAHUN TENTANG IRONI SEBUAH NEGERI KAUM MUSLIMIN


Oleh ; Siti Ruaida, S.Pd


Perjuangan umat islam puluhan tahun setelah kemerdekaan ada dalam hantaman penjajahan baru dari sebuah negara super power dengan mengatas namakan moderenasasi . Umat tertatih dalam perjuangan untuk bangkit, mengembalikan sebuah hegemoni. Perjuangan yang panjang penuh unak dan duri, tapi ternyata proses tidak menghianati hasil. Kebangkitan umat semakin membuncah, dan akan menemukan titik terang.


Rakyat sejak lama tertatih oleh penguasa  orde lama, ordebaru dan era repormasi. Dan Kekuaasaan àkan tersungkur dalam kegalauan, mereka masih memilih ada pada posisi jalan tengah antara Islam dan kekuasaan Kapitalisme, tapi tidak mungkin dengan komunisme.


Kekuatan Islam telah dimainkan untuk menumbangkan komunisme. Kekuatan kita adalah pemuda Islam yang telah menjadi garda terdepan. Media digital menjadi instrumen yang memantik peristiwa menuju perubahan tatanan politik. New imperialisme menghidupkan Kambing hitam bahwa negeri ini adalah sumber korupsi, bencana, penyakit dan pemimpinnya yang buruk jahat terhadap rakyat serta sarang terorisme. Maka pecahlah protes sosial, perang saudara, demonstrasi. Siapa sesungguhnya musuh yang hakiki tidak terlihat, semua ada dalam permainan konspirasi global.


Sebenarnya siapakah yang berpotensi menghancurkan negeri, tentu jawabnya rezim tiran, rezim anti kritik, refresif dan brutal serta rezim diktator yang didukung kelompok yang mau menjadi kaki tangan rezim.  Mengapa menjadi antek asing dan aseng hingga rela menindas saudara dengan dalih mengancam kepentingan negeri. Sungguh pernyataan yang manis seperti racun berbungkus madu, hakikatnya yang dijaga adalah kepentingan imperialis yang eksploitatif, siapa yang bisa menafikkan keterlibatan asing dan aseng dalam sumbang saran dan ide yang menggerakkan orang-orang yang bersumbu pendek demi diri sendiri. Inilah yang memantik kehancuran negeri gemah rifah luh jinawi, mereka yang menjual negeri dan mencari kambing hitam atau seperti maling teriak maling. Kebenaran telah dihilangkan yang muncul adalah dusta yang terorganisir dan digoreng untuk dijadikan opini publik, bahwa mereka benar dan pantas jadi pahlawan kesiangan.



Teori konflik selalu mereka kedepankan, padahal konflik tidak akan menghasilkan peradaban . Bahkan mampu membangun ekonomi negara saja pun tidak, dia tidak akan menghasilkan apapun kecuali penderitaan dan keterpurukan. Apakah mungkin di zaman keterbukaan seperti hari ini, untuk memajukan ekonomi harus dengan kekerasan? Mungkinkah pula dalam bernegara keberhasilan bisa diperoleh dengan jalan konflik. Tetapi Selalu ada intelektual yang mengelola konflik dàn menjadikan konflik sebagai komoditas. Media digital yang memainkan peran menggiring opini untuk sebuah kesimpulan walaupun ada kepalsuan. Opini hanya bisa dilawan dengan opini, berupaya membuka celah dihati untuk bisa mencermati mana fakta mana kepalsuan. Media adalàh sarana untuk menebar persekongkolan juga pembongkar kebenaran yang seharusnya menyentuh pemikiran penggunanya.



Banyak yang ingin rakyat sampaikan, tapi sangat sulit untuk mengungkapkan, ciut nyali dengan kata radikal, teroris, anti pancasila, anti NKRI, pemecah belah persatuan telah mempalu hati. Rakyat bukan perusak, tapi perpengalaman berabad-abad menebarkan kasih sayang, tapi serangan selalu menghadang mereka, dan kata-kata klasik selalu muncul memusingkan kepala rakyat. Permainan apa yang terjadi dinegeri ini, hingga tidak bisa menafsirkan persaudàraan yang hakiki apatah lagi  merasakàn indahnya Islam. Mata telah buta, pikiran telah terserabut, dan akal sehatpun telah kabur, yang ada hanya pikiran picik dan kedunguan yang terpelihara.


Kebangkitan telah menemukan arahnya, seperti sinar matahari pagi yang terus memancar, pelan tapi pasti dia telah mendapatkan pertolongan yang syahdu, dan kekuasan yang rapuh kembali akan tersungkur. Tidak ada kekuasaan yang abadi tanpa pondasi yang hakiki. Imperialisme barat telah menghasilkan rezim yang diktator anti kritik dan refresif. Aspirasi rakyat dan protes rakyat secara intelektual dan damai dianggap lebay dan menjadi sebuah ancaman, akhirnya bisa berujung pada persekusi, karena dianggap sebagai penentang ataupun oposisi.

 

Persatuan umat bukan keniscayaan tapi telah mendekati kenyataan. Rakyat terus bergerak menuntut perubahan, mereka gerah dengan tekanan, tidak nyaman dengan ketidak adilan.  Selalu menahan dengan kesabaran dan hanya bisa melawan secara elegan dengan memperkuat diri dengan pemikiran untuk menghantarkan pada solusi yang mendasar agar sampai pada sebuah kesimpulan. Bahwa Allah adalah penggenggam kita. Allah yang tahu kapasitas kita sebagai manusia yang terbatas sebagai makhluk ciptaannya dan  harus menghamba kepada Allah dengan menerapkan syariat Allah.


Membangun peradaban adalah sebuah keharusan, agar menjadi mercusuar dunia.  Suasana batin rakyat merindukan keteduhan, kemana lagi mengarahkan, hanya kepada Allah tempat bersandar. Identitas kita adalah hamba yang mengalur mengikuti penciptanya. Kehidupan adalah sebuah tatanan yang dirancang sangat rapi dengan sebuah konsep sempurna untuk memandu manusia agar tak tergelincir. Semesta alam saja ada dalam kuasa Allah apatah lagi kehidupan manusia yang menjadikan bumi tempatnya berpijak dipandang seperti debu oleh sang pencipta. Tentulah kecil manusia dan karyànya dimata sang pencipta, apalagi bila tidak disandarkan untuk pengabdian hamba kepada sang pencipta.


Bila syariah dan khilafah dianggap sebuah ancaman dimanakah intelektualitas sebagai manusia. Padahal Allah menciptakan manusia dengan seperangkat aturan sebagai panduan dibumi yang dipandang manusia sebagai tempat eksis diri yang harus dikuasai, tentu dengan pilihan tunduk pada Allah atau mencari jalan sendiri dengan kecerdasannya.

Tidak lagi menjadikan agama hanya diperlukan ketika bisa memberikan keuntungan dan asumsi kedamaian. Agama hanya dijadikan pembungkus agar tampak elok untuk mendukung tingkahnya. Padahal agama adalah petunjuk yang akan membawa manusia kepada cahaya.


Negeri ini adalah rumah kita, tujuan kita harus sama seperti sebuah perahu yang berlayar tentu harus satu nahkoda.

Kesatuan umat adalah sebuah karunia, walau kita berbeda.


Penulis Pengajar di MT.s Pangeran Antasari Màrtapura

Member AMK KALSEL

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak