Wd. Deli Ana
(Pengajar)
Reuni 212 boleh saja usai. Namun gaungnya masih terus bergema. Kenangannya lekat di benak anak bangsa. Bahkan sampai lintas negara. Dahsyat, fenomenal, menakjubkan dan sederet kata sifat lainnya tak kunjung habis disematkan ke jalannya acara.
Wajar. Tak pernah terbetik secara logika, berjuta orang dapat terhimpun di saat yang sama. Tanpa sedikit pun memantik konflik. Suasananya damai dan sejuk. Meski sebagian yang digugat adalah ketidakadilan, tapi tak satu pun wajah terlihat galak. Senyuman memancar dari segala sosok. Tepat seperti yang digambarkan seorang pakar komunikasi, Effendi Ghazali tentang Reuni 212, kemarahan dalam senyuman. (ILC TvOne, 4/12).
Di sisi lain tak sedikit yang memandang nanar pada Reuni 212. Mengklaim bahwa telah terjadi politisasi identitas di acara tersebut jelang Pemilihan Presiden. Boni Hargens salah satunya. Di acara yang sama saat tandem dengan sejumlah tokoh nasional ia berujar, “Tetapi yang saya kutuk di sini adalah politisasi identitas yang kebablasan dan tidak tahu diri demi politik, demi pemilu, demi tujuan kekuasaan." (tribunnews.com, 5/12).
Sebelumnya hal senada juga disampaikan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato penutupan kegiatan pembekalan calon legislatif partai Demokrat. SBY menyebut adanya perubahan besar kontestasi politik Indonesia dengan meningkatnya isu politik identitas atau SARA usai Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 lalu.
"Saya berani mengatakan politik kita telah berubah. Makin mengemukanya politik identitas atau SARA, dan politik yang sangat dipengaruhi ideologi," katanya. (cnnindonesia.com, 13/11/18).
Menarik soalan berikutnya, apa sebenarnya politik identitas yang dimaksud? Bila memang nyata, haruskah kita waswas?
Fitrah Tak Pernah Salah
Mengutip dari laman wikipedia.com, disebutkan bahwa, “Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Tujuannya untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnis, agama (SARA) maupun elemen perekat lainnya.”
Pertanyaannya, adakah yang salah dengan hal tersebut? Tentu tidak. Sejak pertama manusia memang diciptakan dengan suku, ras dan agama yang berbeda. Firman Allah swt. Sang Maha Pencipta, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.... ” (TQS Al-Hujurat:13).
Maka Reuni 212 lalu lebih dari cukup sebagai bukti. Cerminan rasa saling menghormati dan menghargai yang keberadaannya fitrah sejak penciptaan manusia. Sebab bagi muslim semua sama dalam pandangan Allah. Hanya takwa yang jadi pembeda. Sesuai lanjutan ayat di atas, “.. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (TQS Al-Hujurat:13).
Fakta pun semakin tak terbantahkan. Alih-alih menimbulkan sentimen SARA, Islam justru sanggup mempersatukan. Bahkan yang hadir justru berasal dari berbagai latar belakang SARA. Potensi konflik yang dicemaskan terjadi hanya sebatas mimpi di siang bolong. Tiada satu pun menjelma nyata hingga berakhir acara.
Terkait hal ini seorang politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Dedi Gumelar ringan saja kemudian menanggapi, “Jadi kalau ini adalah politik identitas, ya bangsa ini kan berbagai macam identitas, ya wajar saja. Toh kita juga tidak bisa apa-apa di Prancis, kita di Vatikan tidak bisa apa-apa," ujarnya. Pernyataan ini disampaikannya pada acara Indonesia Lawyers Club di salah satu teve swasta, 4 Desember lalu. (tribunnews.com, 5/12).
Sejenak menoleh ke belakang Pengasuh Pesantren Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Solah, tak urung juga sempat mempertanyakan apa arti politik identitas.
“Yang namanya politik identitas, menyinggung SARA, politisasi agama itu seperti apa?” ujarnya.
Misalkan yang dimaksud politik identitas itu kampanye memilih pemimpin Muslim. Pemimpin yang memperhatikan dan adil terhadap umat Islam. Maka Gus Solah menilai, tidak ada masalah jika seorang Muslim berkeyakinan dilarang memilih pemimpin non-Muslim.
“Saya ngomong sama anak saya, misal ya, ‘kamu harus memilih pemimpin Islam’. Apa ada yang salah dengan itu? Kan, tidak,” tegasnya. (hidayatullah.com, 02/01/2018).
Identitas Umat Islam, Ummatan Wahidatan
Sejatinya umat Islam adalah satu. Memiliki kesatuan identitas yang dideklarasikan dalam banyak ayat Alqur’an Kalamullah. Sebagai ummatan wahidatan.
Salah satunya firman Allah, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku (QS Al Mu’minun : 52).
Tafsir Imam Ibnu Katsir terkait ayat ini menyatakan: Yakni agama kalian ini —hai para nabi— adalah agama yang satu, yaitu agama yang menyeru untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“.. dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al Mu’minun: 52)
Sejarah kemudian mencatat Islam hadir mempersatukan umat manusia. Tak hanya lokal, dunia pun menuliskan sejarah peradaban Islam dengan tinta emas. Terwujud harmoni kesatuan meskipun di dalamnya terdapat berbagai kelompok yang berbeda agama. Dimulai sejak Rasulullah berhasil menyatukan jazirah arab yang terdiri dari berbagai agama, adat, dan kebudayaan dengan syariat Islam.
Lihat saja isi dari Piagam Madinah yang termasyhur. Ditujukan tak hanya pada umat Islam, tapi juga untuk suku-suku dan kaum yang belum memeluk Islam, termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah. Bahwa mereka adalah umat yang satu. Ketika berselisih maka sama-sama harus merujuk pada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian kalimatnya berbunyi,
“Bahwa bilamana timbul di antara kamu perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad SAW. (sirah Ibnu Hisyam, jilid II, hal. 501)
Jelaslah tampak dipersatukannya berbagai kabilah, ras, bahkan berbagai agama di bawah naungan Islam. Mereka yang berbeda agama usah cemas hatta kawatir. Mereka berhak bebas melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. Terbukti di Spanyol, lebih dari 800 tahun, pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai dan tenang selama era kekhilafahan Bani Umayyah. Begitu juga, di Mesir, sejak zaman Khulafa’ Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyyah, pemeluk Kristen dan Islam hidup berdampingan dengan aman dan damai selama ratusan tahun. Masa itu Islam memancar sebagai rahmatan lil ‘alamin. Maha Benar Allah yang telah mengutus Muhammad saw., “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia. ” (TQS. Al Anbiya: 107). Wallaahu a’lam bishshowab.