Oleh : Ika Nur Wahyuni
Pernyataan Ketum PSI (Partai Solidaritas Indonesia), Grace Natalie pada gelaran Festival 11 di Jatim Expo Surabaya yang menolak poligami menuai perdebatan baik di dalam partainya maupun di luar partai. Bahkan beberapa kadernya di daerah menyatakan mundur dari partai, (Tribun-Timur.com, 19/12/2018).
PSI juga bermaksud merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama yang mengizinkan praktik poligami. Politikus PSI, Dara Nasution menilai agar Indonesia menjadi bangsa yang kuat maka sikap adil datang dari unit terkecil yaitu keluarga, (Tempo, 16/12/2018).
Setali tiga uang dengan PSI, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i menyebutkan bahwa poligami bukan ajaran Islam. Imam menyebutkan praktek poligami rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, dan kekurangan ekonomi, (Tempo, 16/12/2018).
Praktek poligami telah dilakukan jauh sebelum datangnya Islam. Para nabi pun melakukan poligami. Hendrik ll, Hendrik lV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon l adalah contoh orang besar dari Eropa yang berpoligami.
Poligami biasa dilakukan raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga dianggap suci. Orang Hindu melakukan poligami secara luas. Bahkan seorang Brahma berkasta tinggi diperbolehkan mengawini perempuan sebanyak yang dia mau.
Orang Babilonia, Siria, dan Persia pun melakukan poligami tanpa membatasi jumlah istri yang dinikahi. Di kalangan bangsa Israel (Yahudi) poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa as. Agama Kristen juga tidak melarang adanya praktek poligami sebab tidak ada satu ayat pun di dalam Injil yang melarang hal ini.
Para pakar Sosiologi dan Kebudayaan ( Westermark, Hobbers, Heller, Jean Bourge) berpendapat bahwa sistem poligami dilakukan ketika kebudayaan bertambah tinggi dan maju. Hal ini menjelaskan kebohongan sejarah dan fakta yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa.
Propaganda Barat dalam menyerang poligami terus digulirkan. Mereka menggambarkan poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Dan ini mempengaruhi kaum Muslim, terutama para pemegang kekuasaan dan kaum intelektual. Mereka berusaha untuk menakwilkan nash-nash syara secara batil untuk melarang bahkan menghapus poligami.
Islam adalah agama fitrah. Seluruh syariat yang ditetapkan Allah semata-mata untuk kebaikan manusia. Poligami merupakan hukum syara yang dinyatakan di dalam Al Quran secara jelas. Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban atau sunnah melainkan sebagai sesuatu yang mubah yang boleh dilakukan ketika kaum muslim menghendakinya.
Ayat Alquran membolehkan poligami sekaligus membatasi dengan bilangan empat. Akan tetapi memerintahkan agar suami yang berpoligami berlaku adil kepada para istrinya dalam hal yang dia mampu seperti menentukan pembagian hari untuk menginap, sandang, pangan, tempat tinggal, dan lain-lain.
Sedangkan, dalam perkara yang termasuk kecenderungan yaitu masalah cinta dan hasrat seksual, maka tidak wajib keadilan di dalamnya, karena hal ini memang di luar kemampuannya, dan hal itu terdapat pengecualian di dalam nash Alquran.
Inilah pembahasan mengenai poligami yang dinyatakan oleh nash-nash syariah. Dengan pengkajian dan penggalian dari nash tersebut menjelaskan Allah SWT telah memperbolehkan poligami secara umum tanpa adanya suatu pembatas (qayad) atau syarat apa pun. Karena itu, kita wajib berhenti pada batas-batas nash syariat dan hukum syara yg digali saja.
Apabila dalam praktek poligami terdapat ketidakadilan, kekerasan baik fisik maupun psikis itu kesalahan individual (pelaku poligami) tidak membuat serta merta menyalahkan poligami yang telah disyariatkan Allah. Yang wajib diperbaiki adalah individu sebagai pelaku poligami bukan menghapus poligami. Itulah sebaik-baik individu yang taat kepada syariat.
Wallahu’alam bis shawab