Oleh: Sitti Sarni, S.P (Founder Komunitas Pejuang Islam)
Poligami hari ini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, termasuk kalangan aktivis wanita. Ditambah lagi gencarnya gerakan feminisme yang menanamkan pandangan bahwa masalah tersebut sebagai satu bentuk diskriminasi terhadap kaum wanita. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anwar Abbas, menanggapi pernyataan Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i yang menyebut poligami bukan ajaran Islam.
"Mengatakan bahwa poligami bukan ajaran Islam jelas tidak berdasar dan menyesatkan,” tegasnya saat dihubungi hidayatullah.com, Ahad (16/12/2018).
Sekulerisme Akar Masalah
Tak bisa dipungkiri adanya pandangan bahwa kebolehan berpoligami adalah penindasan lelaki terhadap wanita yang tidak berkesudahan. Mereka menuduh agama Islam - yang membenarkan poligami - telah bertindak berat sebelah terhadap wanita. Pandangan seperti ini telah banyak diadopsi ke dalam pemikiran para aktivis wanita dewasa ini. Malah pandangan ini, seolah-olah telah memperoleh pengesahan dengan adanya amalan poligami dalam masyarakat kita yang tidak sesuai dengan petunjuk Islam. Ditambah pula dengan adanya sosialisasi yang sistematik dan berkesinambungan mengenai imej negatif ibu tiri/isteri muda, baik melalui film maupun cerita-cerita rakyat.
Pernyataan poligami bukan ajaran Islam merupakan kelancangan yang tidak dibenarkan. Serangan terhadap ajaran Islam terus dilancarkan kaum sekuleris. Tujuan menghilangkan sisa-sisa hukum islam yg berpotensi memunculkan kebangkitan yang akan melawan hegemoni dan penjajahan mereka atas dunia. Kondisi ini akan terus terjadi sepanjang umat Islam tidak memiliki kekuatan politik yang akan melindungi dan menjaga tegaknya syariat Allah di muka bumi.
Pandangan Islam Mengenai Poligami
Islam sebagai deen (agama, jalan hidup) yang sempurna telah memberikan hukum-hukum yang begitu lengkap untuk menyelesaikan masalah kehidupan umat manusia. Islam telah membenarkan seorang lelaki untuk beristeri lebih dari satu. Walau bagaimanapun, Islam membatasi jumlahnya, yaitu maksimum empat orang, dan mengharamkan lebih daripada itu. Ini berdasarkan firman Allah SWT yang berikut :"Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian sukai masing-masing dua, tiga, atau empat - kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, nikahilah seorang sahaja - atau nikahilah hamba-hamba yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tindakan tidak berbuat aniaya." [TQS an-Nisa' (4):3].
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun ke -8 hijriah untuk memberi batasan jumlah isteri maksimum empat orang saja. Sebelum itu, sudah menjadi perkara biasa jika seorang lelaki Arab mempunyai banyak isteri tanpa ada batasnya. Dengan turunnya ayat ini, seorang muslim dibolehkan menikahi maksimum empat orang saja, tidak boleh lebih daripada itu. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, ini dapat difahami dari ayat di atas jika kita baca secara berulang-kali, yaitu : Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat...”
Memang dalam kalimat seterusnya pada ayat di atas terdapat ungkapan : “Kemudian jika kalian takut tidak akan berlaku adil, kahwinilah seorang sahaja”. Bermakna, jika seorang lelaki takut untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristeri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk berkahwin hanya dengan seorang wanita dan meninggalkan usaha untuk menghimpun lebih dari seorang wanita. Jika dia lebih suka memilih seorang wanita, ia adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak menganiaya atau curang. Ini adalah makna kalimat : “yang demikian adalah lebih dekat kepada tindakan tidak berbuat aniaya”.
Namun demikian, menurut an-Nabhani, keadilan bukanlah syarat kebolehan berpoligami secara mutlak. Ini digambarkan dalam ungkapan ayat : Kahwinilah wanita-wanita (lain) yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat.”
Ayat ini mengandung pemahaman mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai kalimat yang sempurna). Kalimat itu kemudian diteruskan oleh kalimat berikutnya : Kemudian jika kalian takut... Kalimat ini bukan syarat, kerana tidak bergabung dengan - atau adalah sebahagian daripada - kalimat sebelumnya, tetapi hanya kalam mustanif (kalimat lanjutan).
Seandainya keadilan menjadi syarat, sudah pasti akan dikatakan seperti ini : Fankihu ma thaba lakum min an-nisa' matsna wa tsulatsa wa ruba'a in adaltum (Kahwinilah wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil) - sebagai satu kalimat. Namun, hal seperti itu, menurut an-Nabhani, tidak ada, yang menyebabkan aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat dibenarkan berpoligami. Bermakna, perkara ini adalah hukum syariat yang berbeda dengan hukum syariat yang pertama. Yang pertama adalah kebolehan poligami sehingga had empat orang, kemudian muncul hukum kedua, yaitu lebih disukai untuk memilih salah satu saja jika dengan berpoligami ada ketakutan pada seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya.
Oleh itu, menurut an-Nabhani, jika kita melihat dengan teliti ayat ini, kita akan mendapati lebih daripada satu hukum: (1) kebolehan beristeri lebih dari satu (poligami) secara mutlak tanpa ada apa-apa syarat (2) Kewajiban untuk berlaku adil bagi seseorang yang telah memilih berpoligami. Walau bagaimanapun, jika takut tidak dapat berlaku adil, dia digalakkan untuk memilih seorang isteri saja, karena ini dekat kepada sikap tidak menganiaya. Maknanya, perlu diperhatikan di sini, bahwa jika seseorang sudah memilih untuk beristeri lebih dari satu, dia dikehendaki untuk melayan semua isterinya dengan makruf dan adil. Sebab, keadilan adalah hukum lain yang diperintahkan (baca: wajib) atas seluruh umat Islam; siapa saja dan dalam keadaan apa pun.
Namun demikian, keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap isteri-isterinya bukanlah keadilan mutlak, tetapi keadilan yang memang masih dalam batas keupayaannya - sebagai manusia - untuk mewujudkannya. Sebab, Allah SWT sendiri tidak memberi seseorang beban melainkan sejauh kemampuannya, sebagaimana firman-Nya :"Allah tidak akan membebani seseorang melainkan mengikut keupayaannya." [TQS al-Baqarah (2) : 286].
Memang benar, kata an-Nabhani, perkataan ta'dilu dalam ayat itu berbentuk umum, iaitu berlaku untuk setiap bentuk keadilan. Walau bagaimanapun, kata yang bersifat umum ini di-takhsis (dikhususkan), iaitu mengikut keupayaan semula jadi manusia, berdasarkan ayat berikut :“Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isteri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh kerana itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang isteri yang kalian cintai) sehingga kalian membiarkan isteri-isteri kalian yang lain terkatung-katung.” [TMQ an-Nisa' (4): 129].
Melalui ayat di atas Allah menjelaskan, bahawa manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam hal-hal tertentu. Walaupun demikian, mesti dipahami bahwa ini tidak bermaksud Allah menganiaya manusia. Sebab, Allah berfirman : “Tuhan kalian tidak akan pernah menganiaya seorang manusia pun." [TMQ al-Kahfi (18):59].
Berhubung dengan ketidakberdayaan manusia untuk berlaku adil sebagaimana yang disebut dalam al-Quran surah an-Nisa' ayat 129 di atas, Ibn 'Abbas menjelaskan bahwa ketidakupayaan yang dimaksudkan adalah dalam hal kasih sayang dan nafsu suami terhadap isteri-isterinya. Sebaliknya, selain dalam dua hal ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan nafsu inilah yang sebenarnya dituntut dan diwajibkan atas suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan nafsunya bukanlah sesuatu yang diwajibkan ke atas mereka.
Ini dikuatkan oleh Hadis Nabi SAW, sebagai mana dikatakan 'Aisyah RA. : Rasulullah SAW pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah dengan apa yang aku mampu. Oleh kerana itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya)." [HR Abu Dawud]. Wallahu A’lam