Oleh Maya Desmia, S.Pd. (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Ada sebuah pernyataan menarik yang penting digarisbawahi saat acara ILC (Indonesia Lawyers Club) yang di hadiri oleh KH Abdullah Gymnastiar dan beberapa waktu yang lalu mengenai aksi Reuni 212. Bahwa dalam agenda tersebut, tak banyak tokoh-tokoh besar yang memiliki banyak masa hadir. Namun, peserta aksi tersebut tetap besar. Bahkan, lebih besar ketimbang aksi 212 yang digelar pada 2 Desember 2016 lalu.
Jika mengacu pada data dari LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang digawangi oleh Denny JA, setidaknya ada lima tokoh ulama paling berpengaruh di Indonesia saat ini. Dalam hasil survei yang dilakukan LSI Denny JA pada 10-19 Oktober 2018, terungkap lima ulama tersebut adalah Ustadz Abdul Somad, KH Arifin Ilham, KH Abdullah Gymnastiar,Ustadz Yusuf Mansur, dan Habib Rizieq Shihab. Pada, reuni 212 yang lalu, kelima ulama ini tak ada yang hadir satupun.
Sebagaimana diketahui, masing-masing ulama tersebut memiliki uzurnya masing-masing. Ustadz Abdul Somad mengaku memiliki agenda tabligh yang sudah diagendakan jauh-jauh hari, KH Arifin Ilham dikabarkan sakit, KH Abdullah Gymnastiar punya agenda sendiri yakni Milad Darut Tauhid, Habib Rizieq Shihab masih berada di Mekkah Al Mukarramah, sedangkan Ustadz Yusuf Mansur memiliki pandangan bahwa Reuni 212 sudah tak begitu penting lagi dilaksanakan.
Padahal, dalam budaya Tabligh dan Kajian Islam di Indonesia, umumnya faktor Mubaligh adalah daya tarik paling utama untuk membuat sebuah agenda keagamaan menjadi ramai. Makanya tidak heran jika di Mesjid-Mesjid menyelenggarakan agenda PHBI (Perayaan Hari Besar Islam), para pengurus mesjid umumnya berusaha menghadirkan Mubaligh yang sudah memiliki nama, terkenal, dan luas pengaruhnya. Hal itu semata-mata agar masyarakat sekitarnya mau hadir dan turut memakmurkan mesjid.
Lantas kemudian kita bertanya, atas dasar apa jutaan umat hadir dalam Reuni 212?
Apakah karena ingin kampanye? Rasanya tidak. Tidak ada kampanye dalam agenda tersebut. Bahkan Bawaslu menegaskan hal tersebut selepas acara. Lagipula, tak satupun kita menemukan bendera dan atribut Parpol dalam acara tersebut.
Apakah karena dibayar 100 ribu per-orang? Alasan ini jelas nyata ngawurnya. Pasalnya, siapa yang sanggup membiayai seluruh peserta yang hadir jika jumlahnya dikabarkan mungkin menyentuh 10 juta orang? Pada faktanya, yang hadir berlelah-lelah datang dari penjuru Indonesia. Luar kota, provinsi, bahkan pulau. Kalau di bayar 100 ribu, jelas masih besar ongkosnya? Ngapain ngongkos jutaan kalau di bayar 100 ribu?
Lalu, karena apa? Satu yang pasti jelas, dalam acara tersebut kita menyaksikan jutaan atribut tauhid digunakan massa yang hadir. Jutaan bendera dikibar, kepala-kepala peserta yang hadir juga mayoritas memakai topi tauhid, ada juga yang memakai ikat kepala. Hal yang paling dominan dalam acara tersebut adalah tauhid. Ya, lafadz agung milik kaum Muslim. Laa ilaaha illalah, muhammadurrasulullah. Inilah kenyatannya.
Meminjam istilah Aa Gym, mereka hadir karena panggilan hati. Seementara mengutip pernyataan Ustadz Ismail Yusanto, mereka hadir karena kepemimpinan berfikir yang sama. Satu yang disepakati, mereka hadir karena iman. Tauhid. Pembelaan terhadap tauhid.
Ada beberapa hal yang bisa ditunjukan oleh umat dari acara Reuni 212. Pertama, umat Islam di Indonesia memiliki ukhuwah dan diikat oleh satu perasaan yang sama, sama-sama cinta pada kalimat tauhid. Mereka tak rela kalimat tauhid yang sebelum acara dianggap simbol radikalisme dan bahkan dibakar oleh sekelompok orang.
Kedua, umat Islam menunjukan bahwa mereka adalah umat yang damai dan tak pantas diberi cap radikal. Faktanya, dalam acara tak terjadi kekerasan, kericuhan, dan kekacuan. Peserta yang hadir damai-damai saja. Bahkan, mereka yang non-muslim juga larut didalamnya.
Ketiga, umat Islam Indonesia punya potensi besar untuk bangkit dan menjadi penggerak bangkitnya peradaban Islam di dunia. Umat Islam Indonesia punya modal dan power yang besar untuk itu. Dan, semoga saja bisa terealisasi.
Begitulah jika ukhuwah telah digelorakan. Manusia tumpah ruah ingin merasakan nikmatnya bersatu. Namun, persatuan bukan semata persatuan. Mestilah ada pengayom untuk dapat mewujudkannya secara nyata. Agar ukhuwah dapat langgeng terbina.
Penerapan Islam kaffah dalam bingkai daulah khilafah Islamiyah, cara nyata mewujudkan ukhuwah Islam paripurna. Adanya telah membuktikan dalam goresan tinta sejarah. Kaum Muslim tak kenal batas teritorial karena pengayomannya. Mari kaum Muslim, berjuanglah untuk kehidupan Islam yang sesungguhnya. Hidup mulia dengan menapaki perjuangan merapkan Islam kaffah dalam institusi mulia pembawa berkah, Khilafah Islamiyah. Wallahu'alam bishowab