Oleh Ika Nur Wahyuni
Reuni 212 yang telah dilaksanakan beberapa hari yang lalu menyisakan harapan besar. Harapan bersatunya umat Islam tanpa memandang dari harakah (kelompok) apa maupun dari kalangan mana mereka berasal.
Semua tumpah ruah di Monas, dari penjuru Indonesia berduyun-duyun memadati bukan hanya Monas tapi juga area di sekitarnya. Jakarta yang terkenal dengan kemacetan dan polusinya, hari itu tampak berbeda. Nuansa hitam dan putih mendominasi jalan-jalan, yang terdengar bukan suara padatnya kendaraan lalu lalang tapi takbir dan salawat menggema di setiap sudut jalan.
Berbagai media asing meliput momen bersejarah ini. Inilah aksi damai terbesar sepanjang sejarah dunia di mana umat yang selalu dituduh teroris dan radikal menggelar acara damai tanpa sedikitpun chaos. Label buruk yang selama ini selalu disematkan di kalangan umat Islam seolah luruh.
Mereka yang selalu menuduh Islam sebagai agama intoleran pun dibuat bungkam karena peserta aksi damai itu bukan hanya dari kalangan umat muslim saja. Ternyata acara ini juga banyak dihadiri oleh kalangan non muslim dan etnis Tionghoa. Dan dunia kembali dibuat terpana dengan aksi damai ini, sama ketika aksi damai serupa digelar 2 tahun lalu.
Kebangkitan dan persatuan umat Islam pun bukan lagi hal yang utopis. Kejadian 2 tahun lalu ketika seorang politikus dan tokoh terkemuka menistakan ayat Alquran, sebagai pemicunya. Umat Islam seperti bangkit dari tidur panjangnya.
Pun ketika bulan lalu beberapa oknum dari salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia membakar panji Rasulullah berlafazkan kalimat tauhid tak perlu menunggu fatwa dari MUI, jutaan umat langsung memenuhi panggilan untuk merapatkan barisan membela kalimat tauhid dan memenuhi jalan-jalan ibukota dengan membawa panji-panji hitam dan putih berlafazkan laa ilaha ilallah.
Seharusnya ini tidak menjadi euforia sesaat, tapi merupakan momentum besar menuju persatuan umat Islam. Di mana mereka hanya disatukan oleh ikatan akidah saja. Ketika perbedaan ras, suku, bahasa, bahkan bangsa lebur menjadi satu kekuatan besar yang mampu menyatukan dari Maghrib (Maroko) sampai ke Merauke (Indonesia).
Itulah Islam, dimana perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu tetapi menjadi khazanah kekayaan Islam yang istimewa. Sebagaimana Rasulullah mempersatukan suku Auz dan Khazraj yang selalu bertikai bahkan Beliau SAW menghimpun bangsa Arab ke dalam satu wilayah dan negara yang berdaulat.
Kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin yang mulai menyebarkan Islam keluar dari jazirah Arab. Dua pertiga dunia pun pernah berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah (negara Islam) yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Spirit 212 harus menjadi tonggak bersatunya umat. Karena kebaikan Islam harus dirasakan bukan hanya untuk kaum muslim saja tapi bagi seluruh alam. Sehingga Islam rahmatan lil’alamin (Islam rahmat bagi seluruh alam) terwujud sempurna.
Dan itu hanya terjadi bila umat Islam bersatu dalam satu kepemimpinan melintas batas negara bangsa (nation state) yang selama ini membelenggu dan membuat umat terpecah belah. Saatnya kalimat tauhid ditinggikan, panji Rasulullah dikibarkan di seluruh penjuru dunia.
Wallahu’alam bish shawab