Peraturan Batas Usia Nikah, Adakah Sesuai Fitrah?

(Aulia Nur Insanni, Mahasiswi Poltekes Kemenkes Bandung)

Ada sebuah negeri yang kaya raya akan sumber daya alam juga sumber daya manusianya. Negeri yang dipenuhi dengan aturan-aturan buatan para pendirinya dahulu kala. Negeri di mana bacaan cabul mudah didapatkan, tontonan porno berserakan, aurat perempuan jadi pameran, maraknya kemaksiatan seperti perzinahan, perselingkuhan, pemerkosaan yang berujung pada aborsi dan pembunuhan. Tak asingkah di telinga kita bahwa kajadian-kejadian tersebut pun marak di negeri yang kita cintai, Indonesia. Fenomena ini dipandang sebagai dampak dari kemajuan teknologi, meluasnya ilmu pengetahuan, modernitas, sebagai bentuk dari kemajuan zaman. Beberapa kasus diangkat hanya bila perilaku tersebut merugikan banyak orang. Sementara bila kasus tersebut berhasil memuaskan nafsu pelaku-pelakunya bahkan di luar status pernikahan, dianggap hal biasa dan sah-sah saja.

Semakin merebaknya kasus-kasus tersebut, khususnya di kalangan remaja, pemerintah berupaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, salah satunya dengan menetapkan UU terkait batasan usia pernikahan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, bahkan muncul isu bahwa pernikahan dini menjadi salah satu penyebab perceraian di keluarga karena dipandang secara mental, kondisi psikologis dan fisik belum siap, apalagi ekonomi yang belum kokoh. Sementara dalam Islam sendiri, batasan bagi seseorang yang diperbolehkan untuk menikah adalah akil baligh bagi pria, dimana tak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia memiliki gharizah na’u (naluri/kecenderungan untuk berkasih sayang) yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Hingga muncul polemik terkini mengenai isu penikahan batas usia remaja yang diperbolehkan di negeri ini untuk melangsungkan pernikahan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR untuk merevisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak. Menteri Yohana berencana untuk menaikkan usia perempuan dan laki-laki yang siap menikah, sehingga anak-anak berusia dini seperti 16 tahun bisa dicegah untuk masuk dalam pernikahan. Terdapat pula kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, pada Senin 20 November 2017 yang bertajuk “STOP Perkawinan Anak: masih ANAK Jangan punya ANAK”. Dalam putusannya, MK menyebut Indonesia telah masuk dalam kondisi darurat karena perkawinan anak semakin meningkat. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, sebaran angka perkawinan anak di atas 25% ada di 23 provinsi. (AntaraNews.com)

Padahal dalam Islam, tidak ada istilah pernikahan dini, dan Islam telah diberi keleluasaan bagi siapapun untuk menikah bila telah memiliki kemampuan juga tidak menunda-nundanya yang dapat menghantarkannya pada perbuatan haram seperti banyak contoh terjadi pada remaja saat ini. Rasulullah pun mengharapkan umatnya adalah umat yang terbanyak yang beliau banggakan kelak di Yaumil Akhir. “Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah menikahi Aisyah radhiallah’anha saat dia masih berumur enam tahun. Dan beliau menggauli saat dia berumur sembilan tahun”. (HR. Bukhari, 4849 dan Muslim, 1422).

Selain itu dari sistem pendidikan, Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian Islam yang memiliki kesiapan untuk menikah, sebab mempersiapkan pernikahan seharusnya diberikan sejak usia baligh. Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah. Secara fisik maupun mental mereka mampu, bila dipersiapkan. Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan mengenai pernikahan dini. (voaislam.com)

Tidaklah mungkin bagi Allah menciptakan aturan yang akan merugikan hamba-Nya. Pencipta tentu tahu betul apa yang dibutuhkan ciptaan-Nya. Gharizah na’u yang ada dalam diri setiap manusia dapat tersalurkan dengan halal sesuai dengan aturan-Nya. Sebab, kebanyakan fenomena yang terjadi saat ini disebabkan oleh para remaja yang tak mampu menahan diri dari nafsu yang datangnya dari setan, tanpa dasar keimanan dalam dirinya. Sehingga makna suci pernikahan sebagai penggenap agama dan bentuk keimanan terhadap Allah tak ternodai. semua bermuara karena saat ini aturan yang diterapkan di negeri ini memisahkan aturan lehidupan dengan agama (Sekuleresasi) yang lahir darinya aturan gaya hidup bebas termasuk di dalamnya pergaulan bebas & seks bebas. Maka solusi satu-satunya adalah buang sekulerisme dan terapkan aturan Islam yang paripurna sesuai fitrah manusia.

Wallahu’allam bi shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak