Oleh: Rina Yulistina S. E
Madiun, bukan lagi menjadi kota kecil yang terletak di ujung barat Jawa Timur. Namun kota ini telah disulap menjadi pusat kota karisidenan yang gemerlap dikala malam menjelang. Menjamurnya hotel, cafe, klub malam menjadi fenomena tersendiri di kota yang di juluki sebagai "kota pecel" ini.
Beberapa hari yang lalu, Madiun dihebohkan oleh pamflet kontes "Pemilihan Miss EIIM 2018" yang akan diselenggarakan pada tanggal 31 Desember 2018. Kontes ini bukanlah sekedar kontes pada umumnya namun lebih dari itu. Kontes yang akan mengundang azab Allah, kontes yang mengikuti gaya hidup kaum Nabi Luth, iya, kontes waria.
Keinginan kelompok ElgEBeTe untuk terus menunjukan eksistensi dirinya sangat masif dilakukan. Mereka tak melakukan sendiri, sokongan dari dunia internasional membuat keberadaan mereka menjadi kuat. Tak ada rasa malu lagi untuk menunjukan orientasi seksual mereka, malah rasa bangga yang mereka tujukan.
Upaya masif yang mereka lakukan membuahkan hasil, masyarakat mulai tak jengah dengan keberadaan mereka. Mengaggab hal itu lumrah adanya. Bahkan masyarakat menjadi enjoy melihat aksi mereka yang bergaya lucu menghibur. Ketika ditanya, apakah masyarakat ingin anak cucunya seperti mereka? Jawabannya tidak.
Ada hal yang rancu di tengah tengah masyarakat. Ketika hal itu terjadi pada keluarganya mereka menolak, namun ketika terjadi kepada orang lain mereka ridho. Pada dasarnya secara fitrah manusia akan menolak perbuatan menyimpang, secara akal pun juga menolak. Namun sistem sekuler kapitalis menerkam kehidupan masyarakat menjadikan fitrah dan akal sehat menjadi terkoyak.
Sikap individualis yang penting keluarganya menjadi selogan padahal menjadi rahasia umum jika elgebete senantiasa mencari korban yang baru. Maka waspadalah waspadalah bisa jadi target selanjutnya adalah keluarga kita.
Di kondisi yang carut marut saat ini. Masih ada masyarakat yang hanif, pemikirannya masih lurus. Mereka berupaya untuk menggagalkan kontes pembawa murka Allah, dan alhamdulillah dengan kebesaran Allah kontes ini pun akhirnya dibatalkan oleh penyelenggara. Melalui surat pernyataan yang ditandatangani dengan materai pihak penyelenggara memohon maaf kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat Kota Madiun. Inilah bentuk kontrol sosial yang harus terus dipupuk di tengah kondisi individualis.
Kita pun bisa belajar banyak hal dari kejadian ini. Ketika kebatilan terus diaruskan dengan masif, masyarakat dengan sendirinya akan menerima ide tersebut dan pada akhirnya menganggab hal itu bukanlah kebatilan. Jika kebatilan bergerak cepat sudah menjadi keharusan haq bergerak jauh lebih cepat, dua, tiga kali lebih masif dan tidak menutup kemungkinan masyarakat akan menerima aturan islam (baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan,dan lain-lain) dalam naungan khilafah dengan senang hati baik muslim maupun non muslim. Sistem ini telah terbukti selama 13 abad lamanya dengan wilayah cakupan sepertiga dunia.
Kemenangan islam merupakan janji Allah. Cepat atau lambat pertolongan Allah itu merupakan hak Allah, tugas kita menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Sesungguhnya kebatilan tidak akan pernah menang. Benturan pemikiran merupakan keniscayaan, disitulah letak interaksi pengemban dakwah dengan umat, maka nikmati lika liku dakwah.