Penderita Gangguan Jiwa, Naik Daun Pada Sistem Demokrasi


Oleh Lulu 


Ada hal baru pada pada Pemilu kali ini, yaitu adanya peserta baru penyandang disabilitas gangguan jiwa. Seketika muncul pro dan kontra di tengah umat. Para politisi yang berharap bisa mendulang suara melalui peserta baru ini, menganggap bahwa hal ini adalah perkara yang benar. 


Ketua KPU Arief Budiman hanya berpedoman pada Undang-Undang Pemilu. Disebutkan bahwa warga yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah, bukan TNI dan Polri serta tak dicabut hak politiknya, wajib masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan kata lain, memiliki hak suara. Penyandang disabilitas juga memiliki hak suara, merdeka.com (26/11).


Gangguan jiwa termasuk dalam penyandang disabilitas. "Tidak pernah ada istilah menggunakan orang gila. Itu tidak ada. Disabilitas itu macam-macam, salah satunya gangguan jiwa," ujar Arief Budiman di Gedung KPU RI, Senin (26/11).


Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk, depkes.go.id (6/10/2016).


Melihat jumlah penderita gangguan jiwa yang sangat banyak, maka para pengusung demokrasi melihat peluang besar akan jumlah suara mengarah pada kursi mereka. Sungguh tidak masuk akal, akibat menginginkan kekuasaan maka penguasa mengambil keputusan-keputusan yang kontra produktif, yang secara nalar tidak bisa dipertanggungjawabkan. 


Di sisi lain, Rumah Sakit Jiwa Pekanbaru menyatakan siap menampung caleg gila akibat kalah Pemilu 2019 mendatang. Kesiapan Rumah Sakit Jiwa Pekanbaru menampung caleg gila atau mengalami gangguan jiwa akibat kalah Pemilu 2019 ini disampaikan langsung Dirut Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan Provinsi Riau, Hasneli Juwita, Tribunpekanbaru.com (16/11).


Sudah menjadi rahasia umum akan munculnya efek samping jor-joran mencari perolehan suara, membuat para caleg menjadi sakit. Ironis, inilah sebuah sistem yang batil. Kerusakannya tampak jelas di depan mata. Pemilihnya dari golongan penyandang gangguan kejiwaan. Yang dipilih pun siap menjadi pasien sakit jiwa.


/Penderita Gangguan Jiwa Dalam Islam/


Dalam Islam jelas bahwa seseorang dengan gangguang kejiwaan tidak diberi beban hukum. Mereka tidak dikenakan taklif. Sebab ketidakmampuan mereka untuk menghukumi sebuah perkara. Akal yang merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk Allah lainnya, tidak berfungsi dengan baik.


Hal ini terdapat dalam

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ و عن المبتلى حتى يبرأ و عن الصبي حتى يكبر )) 


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pena diangkat dari 3 orang : orang yang tidur sampai dia bangun, orang yang sakit hingga sembuh, dan anak kecil hingga ia dewasa” HR. Tirmidzi. 


Dari sini terlihat bahwasanya dalam Islam tidak ada kewajiban syariat kepada penderita gangguan jiwa. Gangguan pada akal membuat mereka tidak mampu berpikir dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Maka jelas bagi kita bahwa orang-orang dengan masalah kejiwaan tidak bisa menjadi peserta Pemilu.


Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi bahwa hanya Islam sebagai sebuah sistem yang tepat untuk mengatur manusia. Sistem yang benar, menentramkan hati dan memuaskan akal. Saatnya kita kembali pada sistem Islam, buah karya Allah, sang Pencipta dan Pengatur. Wallahu 'alam bish showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak