Oleh: Rina Tresna Sari, S.Pd.I(Ibu Rumah Tangga dan Praktisi Pendidikan)
Kegaduhan dan keresahan kini melanda, khususnya pada masyarakat Aceh sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan Perda syariat, pasalnya pernyataan Grace Natalie, ketua umum PSI yang menuai kontroversi (radarindonesianews.com).
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, membeberkan tiga misi partainya jika kelak diberi amanat oleh rakyat untuk duduk di parlemen. Salah satunya, mencegah diskriminasi dengan tidak akan pernah mendukung Perda Injil atau Perda Syariah diterapkan di Indonesia. PSI ingin mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi dan seluruh tindak intoleransi di Indonesia. "Partai ini tidak akan pernah mendukung Perda Injil atau Perda Syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa," ujar Grace Natalie (tempo.com).
Pernyataan Grace Natalie ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi terhadap syariat Islam, bagaimana tidak pasalnya justru Perda Syariah yang sudah diterapkan oleh beberapa daerah di Indonesia ini, telah diakui sebagai sumber hukum yang legal sebagai mana hukum adat dan bahkan hukum belanda sekalipun. Karena perda syariah yang telah diterapkan itu sudah melalui proses konstitusional yang disepakati oleh fraksi-fraksi di daerah tersebut, dan ini artinya bersifat legal.
Seperti di Aceh misalnya, Qanun Syariat Islam di Aceh yang berlaku saat ini dengan landasan UU Nomor 11 Tahun 2006 tidak lahir begitu saja. Ada sejarah panjang dibaliknya, artinya Perda syariah di Aceh ini bersifat legal. Tindakan membersihkan Perda syariah dalam Hukum positif termasuk kedalam paham SEPILIS (sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme) pada pemerintahan, yaitu kebijaksanaan yang menghindari keterkaitan antara pemerintahan dan agama, yang merupakan salah satu ciri pemerintahan sekuler, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agama tidak boleh dilibatkan.
Berbeda dengan Islam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Islam justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama ritual tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan. Menarik bila mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, bahwa dia menempatkan Muhammad Rasulullah SAW. menjadi tokoh nomor satu adalah karena Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan politis yang tidak dipisahkan satu sama lain.
Sejarah tidak bisa berbohong bahwa abad keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada saat kekhilafahan abbasiyyah dan awal kekhilafahan utsmaniyyah (750 M - 1500 M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian Eropa (Andalusia/Spanyol) hingga dataran Balkan yang kekuatan laut maupun daratnya ditakuti di dunia. Juga tertulis dengan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia karya besar pemikir dan saintis muslim seperti Al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, Al-Kindi dengan pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang telah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine), serta ilmu optik, Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya.
Pada pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidak ada warga negara yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.
Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam adalah sebuah sistem hidup, sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian. Ia juga tidak bisa dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan sosialisme, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas.
Dengan demikian, secara subtansial, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan pusat merupakan bentuk kesadaran terhadap syariah itu sendiri yang mampu menyelesaikan problematika yang dihadapi masyarakat secara tuntas.
Oleh karena itu, sebagai Muslim kita berkewajiban untuk melaksanakan semua aturan yang telah dibebankan oleh Allah SWT kepada kita, hendaknya kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam.
"Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (TQS Ali-Imran [3]: 85)
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS al-Maaidah [5]: 50)
Aturan-aturan Islam dalam masalah publik (negara) sejatinya justru harus dikembalikan lagi kepada umat muslim karena hanya dengan syariah yang akan menghilangkan kedzaliman di negeri ini.
Allaahu a'lam bi ash-shawab.