Oleh : Ainun Mardiyah (pemerhati nasib bangsa)
Kata gila menurut kamus besar bahas Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna, diantaranya kata gila bermakna “sakit ingatan, (kurang beres ingatannya, sakit jiwa, syarafnya terganggu, pikirannya tidak normal). Bisa juga bermakna tidak biasa, atau bermakna tidak masuk akal, atau bermakna terlanda perasaan sangat suka seperti gila bola, gila harta, gila kekuasaan, dan lain-lain.
Tentunya yang akan dibahas di sini bukanlah gila dalam arti kata gila bola, gila harta, atau gila kekuasaan, tapi gila dalam arti sakit ingatan.
Paska putusan MK yang membolehkan orang gila ikut pemilu, mendadak orang gila menjadi selebritis di perbincangkan di mana-mana, seolah hawatir tidak dipilih orang waras orang gila pun jadi tumpuan harapan,mereka dirangkul dan mendapat perhatian karena suara mereka dibutuhkan. Putusan MK ini juga memunculkan banyak komentar yang ikut mewarnai wajah demokrasi di negara ini.
Bagaimanakah sebenarnya fenomena orang gila ini jika dilihat dari sudut pandang hukum di negara ini dan bagaimana pula dalam pandangan Islam.
FAKTA
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra mengaku adanya aturan penyandang disabilitas mental bisa ikit mencoblos di pemilu 2019. Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan MK no. 135/PUU-XIII/2015, warga yang mengidap gangguan jiwa bisa menggunakan hak pilihnya dengan syarat khusus. (suara.com)
Senada dengan Ilham, juru bicara tim kampanye nasional Jokowi – Ma’ruf Amin, TB Ace Hasan Syadzily mengatakan “menurut saya, hak dia (disabilitas mental) sebagai warga negara untuk memilih adalah bagian dari hak konstitusionan dan itu harus dihargai” katanya pada okezon, Sabtu (24/11/2018).
Untuk diketahui, wacana kaum disabilitas mental memiliki hak milih pada pemilu dan pilpres 2019 itu tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum, (PKPU) no 11 tahun 2018, tentang pemilih di dalam nergi (gir/jpnn/fin)
Namun banyak perdebatan terkait dengan putusan MK tersebut, bukan hanya di kalangan masyarakat , di dalam tubuh KPU sendiri masih menuai perdebatan. Pada awalnya, ODGJ dapat memilih ketika ada surat keterangan dari dokter. Namun baru-baru ini KPU kembali memberi pernyataan bahwa syarat berupa rekomendasi dari dokter tidak diperlukan.
Putusan MK no. 135/PUU-XIII/2015 terkait dengan kebolehan orang yang mengidap gangguan jiwa menggunakan hak pilihnya, seolah bertentangan dengan pasal 57 ayat 3 huruf a UU 8/2015 yng berbunyi “ untuk dapat didaftar sebagai pemilih WNI sebagai dimaksud pada ayai 1. Harus memenuhi syarat a.tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya, dan / atau...
Kondisi seperti ini, kata Fadli Zon, membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa orang yang kondisi kejiwaannya tidak sehat dipaksa untuk memilih, sementara banyak masyarakat yang namanya belum terdaftar sebagai pemilih tetap (DPT), dan juga ada yang belum mendapat undangan memilih. (radarcirebon.com).
ULASAN
Begitulah sistim demokrasi, aturan bisa di tarik ulur sesuai dengan kepentingan , bukan rakyat yang menjadi bahan pertimbangan tapi kekuasaan yang tak boleh berpindah kelain tangan. Orang gila pun bisa berubah menjadi seorang pahlawan, jika bisa menyelamatkan kekuasaan. Tak heran jika banyak masyarakat yang semakin tersadarkan bahwa memang demokrasi ini bukanlah sistem yang baik untuk kehidupan. Akhirnya banyak orang yang mencari kebenaran, untuk menyelamatkan kehidupan, yang kemudian tercerahkan dengan dakwah Islam. Jika logika akal sehat kita dikedepankan, bagaimana mungkin orang gila diberi pilihan untuk menentukan nasib bangsa ini, sementara mengurusi diri sendiri saja mereka tidak mampu. Jika mereka di biarkan untuk memilih pemimpin lalu kemudian pilihannya menang, maka artinya negri ini dipimpin oleh pemimpin yang dipilih oleh orang gila, akan seperti apa jadinya negri ini ?.
Jika hak konstitusi sebagai warga negara menjadi alasan, lalu bagaimana dengan hak-hak yang lainnya ?, seperti hak hidup layak, atau hak yang paling mendasar sebagai seorang manusia seperti misalnya makan dan tempat tinggal, karena masih banyak orang gila yang berkeliaran di jalanan tanpa pakaian yang layak apalagi makanan dan tempat tinggal.
Mengingat begitu banyak orang yang gila menjadi patut pula untuk dicermati, apa yang menjadi penyebabnya. Tekanan hidup yang begitu berat, Kesenjangan antara keinginan dan pendapatan mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Tidak aneh memang diera kapitalis sekarang ini gaya hidup mewah yang dipertontonkan oleh televisi dan media lainnya membuat masyaraka memiliki keinginan yang kuat untuk menirunya, disis ilain pemenuhan kebutuhan hidup yang sangat sulit, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang harus di biayai sendiri oleh masyarakat, membuat beban hidup masyarakat semakin berat.
Lantas bagaimanakah Islam memandang orang gila ini, apasajakah hak mereka dan adakah kewajiban yang harus mereka tunaikan.
PANDANGAN ISLAM
Islam sebagai agama dan sistem kehidupan yang sempurna memiliki metode yang khas dalam menyelesaikan setiap permasalahan hidup. Dengan merujuk pada Al quran dan sunnah, ijma sahabat dan kias, semua permasalahan kekinian akan dijawab dengan tuntas.
Dalam pandangan Islam, terkait dengan aturan yang wajib ditarapkan oleh negara Daulah Khilafah tentang memilih pemimpin, ada syarat yang harus di penuhi oleh pihak yang akan ikut memilih, diantaranya harus seorang warga negara Daulah, balig dan berakal sehat. Anak-anak dan orang yang mengalami gangguan jiwa tidak diperbolehkan untuk mengambil bagian dalam hal memilih pemimpin, dan mereka tidak dibebani kewajiban apapun sebagai warga negara.
Rosulullah SAW bersabda “ telah di angkat pena dari tiga golongan, pertama anak-anak hingga mereka baligh, orang yang tidur hingga mereka bangun, dan orang gila hingga ia waras “.
Hadits ini menggambarkan kepada kita bahwa mereka tidak akan dimintai pertanggung jawaban terkait dengan perbuatan yang mereka lakukan, artinya sekalipun mereka melakukan kesalahan/pelanggaran hukum, mereka tidak akan dikenai hukuman sebagaimana orang dewasa dan orang yang sehat akalnya. Karena dalam kondisi seperti ini akal mereka dalam keadaan lemah dan tidak sempurna sehingga mereka tidak bisa membedakan antara kebaikan dan kebatilan, dan bahkan mereka tidak mampu untuk mengurusi dirinya sendiri, sehingga hak nafkah dan penguruan atas diri mereka dan hartanya (bagi yang memiliki) diserahkan kepada keluarga dan ahli warisnya. Ketika tidak memiliki keluarga maka negara berkewajiban untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa wajib mengurusi apa yang menjadi kemaslahatan ummat, kebutuhan pokok setiap indifidu, kesehatan, pendidikan, keamanan menjadi tanggung jawab negara. Sistem pendistribusian yang baik akan meminimalisir kesenjangan sosial di masyarakat. Media penyiaran dan informasi akan diatur dengan memperhatikan dan mengutamakan kemaslahatan ummat. Hukum Islam yang diterapkan oleh negara akan meminimalisir kejahatan dan tekanan hidup di masyarakat, otomatis jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sekarang, bahkan sejarah membuktikan Daulah Khilafah yang berkuasa selama tidak kurang dari 13 abad lamanya berhasil mensejahtrakan rakyatnya. Jadi sudah jelas yang menyebabkan banyaknya orang yang mengalami gangguan jiwa diakibatkan sistem kehidupan di negara kita yang tidak manusiawi, sepanjang sejarah tidak ada negara yang makmur sejahtera dengan sistem kapitalis ini, maka kenapa kita tidak memulai sejarah baru dengan sistem kehidupan Islam yang sudah terbukti membawa ke maslahatan bagi seluruh umat manusia.
Jadi demikianlan solusi dalam Islam, tidak akan ada orang gila yang terlantar dijalanan karena negara akan mengurusi kebutuhan mereka bukan malah memanfaatkannya.
Wallahu’alam Bisshowab