Oleh : Sri Ariyati
(Lingkaran Studi Perempuan dan Peradaban)
Gencarnya opini ta’at pajak keren semakin menyegala. Pemerintah bertekad mencetak generasi patuh pajak demi meraup pemasukan baru bagi bangsa . Selanjutnya, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk mahasiswa, keren? Atau malah karena Negaranya kere?
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta rektor mengurus para mahasiswa wisuda untuk langsung mendapatan NPWP. Adapun jumlah mahasiswa yang lulus tiap tahun mencapai 1,8 juta orang. "Ini adalah potensi pajak. Sehingga kalau ini bisa masuk, dan sekaligus dia keluar saat wisuda dia sekaligus menerima kartu NPWP itu akan bagus sekali," kata Nasir.
Dengan kebijakan tersebut, ia berharap para mahasiswa yang lulus bisa menjadi wajib pajak yang patuh. Kebijakan ini, menurut dia, dalam uapaya membangun bangsa. Kebijakan tersebut diamini Mentri Keuangan yaitu Sri Mulyani Indrawati. (kompas,11/08)
Apa itu Pajak?
Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk Negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Dalam sistem demokrasi sekuler pajak dan hutang merupakan sumber pendapatan Negara. Bahkan dalam APBN 2017 sendiri menyebutkan sekitar 85 persen lebih pemasukan Negara bergantung kepada pajak. Akhirnya demi pajak, rakyat dipalak.
Sebut saja PBB (Pajak Bumi Bangunan), PPH (Pajak Penghasilah), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), Pajak Barang dan Jasa, Pajak Penjualan Barang-barang Mewah, tak cukup dengan itu semua, kini NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dirancang untuk pajak bagi Mahasiswa yang sudah tamat.
Pajak atau Palak
Miris memang melihat fakta hari ini. Mahasiswa disasar demi meraup pundi-pundi mata uang demi pembiayaan belanja Negara. Seakan-akan terlupa berada dalam sebuah Negara kaya yang memiliki sumber kekayaan yang melimpah ruah. Sebut saja gunung emas, tambang batu bara, laut yang kaya akan biotanya. Semua itu cukup bahkan berlebih jika Negara mengelola dengan baik dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan Negara, membangun infrastruktur megah dan sebagainya.
Tapi sayang, kekayaan SDA bangsa tinggal sebatas gelar saja. Terbukti kita masih saja tidak mampu membangun fasilitas dengan SDA yang sudah tersedia. Sehingga makin membuat rakyat sengsara. Sebab semua golongan masyarakat kini disasar menjadi objek wajib pajak dengan dalih pembangunan. Sedang para cukong kapitalis seenaknya dibiarkan melenggang menjarah asset bangsa. Sebenarnya pemerintah sayang siapa?. Sampai-sampai mahasiswa yang belum jelas status karirnya setamat kuliahpun kini dipaksa bayar pajak.
Pajak dalam Islam
Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW pajak dibebankan kepada non muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah.
Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan penyakit lainnya dibebaskan dari kewajiban pajak.
Rasulullah juga menerapkan prisip Kharaj, yaitu pajak yang dipungut dari non muslim ketika wilayak Khaibar ditaklukkan, tanah hasil penaklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengelola tanah tersebut dengan status sebagi penyewa dan bersedia memberikan separo hasilnya kepada Negara. Dalam perkembangannya Kharaj dijadikan sebagai sumber bagi pemasukan Negara.
Dalam Islam ilmu diibaratkan sebagai saudara kembar iman. Orang berilmu dimuliakan bahkan digaji lebih sebab keilmuannya. Tak ada sejarahnya dalam Islam wisudawan dipalak dengan dalih wajib pajak. Andai baitul maal negara berada dalam keadaan kosong, maka akan diminta pajak dari kaum muslimin yang kaya dan bukan berlaku untuk semua orang.
Alhasil, dalam Islam pajak bukanlah sebagai sumber pendapatan Negara untuk membiayai pembangunan. Dalam Islam Negara tak akan membebani rakyat dengan aneka pajak tanpa pandang bulu. Karena sejatinya Negara dalam pandangan Islam adalah pelayan bagi rakyat bukan preman yang galak yang gemar memalak rakyatnya sendiri.
Wallahu a’lam bish shawab.