Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Member TSC)
Belakangan, media layar TV dan online sering dikejutkan dengan iklan sebuah marketplace yang dibintangi oleh girlband asal negeri ginseng. Sepintas memang tidak ada yang aneh, namun jika dicemati dengan teliti, mulai pertengahan iklan hingga ujung iklan dijumpai penampilan empat perempuan dengan pakain yang tidak senonoh. Imbasnya adalah kemunculan petisi yang bertujuan menghentikan iklan ini. Pengajuan petisi didasari alasan bahwa apa yang ditampilkan oleh talen iklan tersebut adalah aksi mengumbar aurat yang muncul sewaktu-waktu di sela acara untuk anak-anak.
Sebagai reaksi atas petisi yang masuk, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, mengatakan mendukung sikap KPI yang melakukan teguran keras kepada media TV tersebut. Pihaknya mengaku telah berkoordinasi dengan KPI dan Kominfo terkait tayangan iklan tersebut yang tidak ramah anak dan berbau konten negatif (jabar.tribunnews.com, 12/12/2018). KPI menilai, iklan tersebut menayangkan sekelompok wanita yang menyanyi dan menari dengan pakaian minim, yang berpotensi melanggar Pasal 9 Ayat (1) SPS KPI Tahun 2012 tentang kewajiban program siaran memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak terkait budaya (hot.detik.com, 12/12/2018).
Dari sudut pandang kepedulian terhadap generasi, penolakan atas konten iklan berunsur pornografi adalah bijak. Sebab pornograf itu berbahaya. Ahli psikologi Inge Hutagalung mengatakan, pornografi memiliki dampak negatif serius karena dapat merusak lima bagian otak manusia terutama prefrontal cortex yang terletak pada bagian otak dekat tulang dahi dan otak logika. Pornografi berimbas pula pada semakin mendekatnya remaja pada kehidupan permisif dalam urusan seks. Meningkatnya jumlah remaja berperilaku seksual aktif akan meningkatkan kasus kehamilan tidak dikehendaki (KTD) dan tindakan aborsi yang dianggap solusi permasalahan KTD (republika.co.id, 19/02/2018).
Lebih jauh lagi pornografi menjadikan generasi yang seharusnya menggunakan masa mudanya untuk menyiapkan kepemimpinan justru dirampas tenaga dan waktunya untuk memenuhi hawa nafsu. Yang seharusnya menjadi generasi kuat berubah menjadi penikmat syahwat. Tak ada lagi kemauan untuk mejadi generasi hebat, sebab bius kenikmatan sesaat pornografi sukses membuat mereka terpikat pada maksiyat. Mereka nyaman di zona laknat, sebaliknya tak melirik sama sekali hal-hal yang diperintahkan syariat. Dan inilah memang yang dikehendaki kafir Barat. Generasi yang tak bersemangat untuk menjadikan bangsanya maju dan bermartabat.
Sehingga tidak mengherankan jika dunia iklan pun dipandang Barat sebagai sarana pas untuk bersimbiosis menyebarkan konsep liberal perusak generasi. Di satu sisi pengiklan tetap akan mendapatkan keuntungan seiring meningkatnya penjualan. Mereka tak ambil pusing dengan talent yang digunakan, bagus apa tidak pengaruhnya bagi generasi. Asalkan talent tersebut terkenal dan bisa mendatangkan banyak peminat, mereka tetap digunakan. Di satu sisi penyeru liberalisasi mendapat kendaraan untuk menyebarkan paham kebebasan berekspresi melalui artis yang tersohor di iklan. Semakin banyak peminat artis tersebut, maka peniru kebebasan yang disuarakan lewat lifestyle artis itu juga akan semakin banyak.
Padahal grup musik asal luar negeri, kebanyakan di samping dari sisi pakaian jelas berlawanan dengan nilai Islam, dari sisi apa yang dibawa pun sebenarnya juga tidak memberi efek positif pada norma kesusilaan dan kesopanan. Kampanye LGBT, model pergaulan bebas, dan simbol-simbol hadharah yang ditampakkan adalah bukti mereka menyebarkan budaya yang jauh bertentangan dengan syariat Islam. Yang apabila terus menerus dipaparkan, pelan tapi pasti mejadikan generasi sebagai pembebek buta. Parahnya, atas nama kebebasan berekspresi mereka sulit dihentikan. Mereka menolak dinasehati dan diingatkan dengan alasan “hidup-hidup saya sendiri, ya urusan saya”. Juga alasan sejenis, yang sejatinya mengekspresikan bebalnya hati yang teracuni idola. Sangat miris pula jika penolakan itu diekspresikan dengan membela mati-matian idola hingga mencaci dan membuli pemberi nasehat, sebagaimana kasus pengaju petisi iklan di atas.
Sampai disini bahaya laten dari budaya luar yang berlawanan dengan ajaran Islam terang mengancam generasi. Mereka menjadi peniru ulung budaya Barat, dari sisi tingkah laku dan gaya hidup sehari-hari. Aktivitas tasayabbuh alal kuffar pun terjadi. Keharaman ini tak dapat dielakkan, dan mereka tetap tidak sadar jika telah terkikis akidah dan akhlaknya. Cacian dan bulian terhadap pemberi peringatan adalah wujudnya. Budaya sopan santun tak tersisa bagi siapa yang memberikan kritik terhadap junjungannya. Sungguh mengerikan.
Tentunya kondisi yang membahayakan nasib generasi ini harus diakhiri. Sensor pornografi harus diaktifkan agar iklan apapun dan budaya rusak yang tidak memapar generasi Indonesia. Pemblokiran otomatis harus diberlakukan, agar akses kerusakan tidak menyentuh setiap rumah melalui televisi dan smathphone. Program terstruktur pada generasi perlu digalakkan agar lahir kepribadian kuat dan kokoh. Dan bagi mereka yang muslim, pemerintah harus mempercayakan pembinaan kepribadian mereka pada Islam seutuhnya. Sebab Islam memiliki formula lengkap untuk mencegah generasinya dari tasyabuh alal kuffar, An Nisaa ayat 144 telah menerangkan hal ini. Membiarkan muslim menjalankan keyakinannya dalam pembinaan kepribadian adalah bentuk toleransi. Agar ada kesempatan bagi pemeluk Islam menjalankan konsep yang dimilikinya tanpa intervensi.
Bagi muslim, teladan tidak boleh diambil dari selain Islam. Bahkan jika sekedar mencari idola, Islampun memiliki tokoh yang dijamin sempurna tanpa cela. Dialah Muhammad SAW yang bergelar ma’shum dan dijamin masuk surga. Bahkan Alquran dalam Alahzab ayat 21 pun gamblang menerangkan bahwa beliaulah uswatun hasanah, teladan yang baik, yang seharusnya diambil oleh yang mengimani ajarannya. Jika kemudian ada yang justru berbelok menjauhi ajaran Nabi dengan menjunjung tinggi idola dari barat dan bertasyabuh kepada mereka, maka ini menunjukkan suskesnya kran liberalisasi. Dan dukungan media massa seperti iklan inilah yang menjadi jalan pintasnya.
Maknanya, penyebaran teladan salah ini tidak berjalan sendiri, sehingga perlawanannya pun harus dilakukan secara sinergis. Negara yang berada di garda depan harus didukung oleh masyarakat. Masyarakat harus proaktif saling menasehati jika kedapatan perilaku peniruan terhadap budaya yang menyimpang dari garis syariat. Begitu pula keluarga, harus senantiasa menjadi pengawal utama moral generasi dengan penanaman akidah sebagai pondasi terkuat guna menangkis budaya yang salah. Dengan kolaborasi terpadu seperti ini, sangat kecil kengerian yang ditimbulkan. Terlebih jika iklan sudah tak lagi berbau pornografi. [Arin RM]