Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Pengajar jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Khibtah mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi kekejian pemerintah Cina dalam memperlakukan Muslim Uighur. Menurutnya, karena memang hal itu kedaulatan Cina (Republika.co.id/13/12/2018).
Menurut Tia, Indonesia dapat memprotes tindakan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, jika memang ada. Tia mengatakan, tidak berbeda dengan kasus di Rohingya, di Myanmar. Indonesia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali protes. Menurutnya, tetap harus dilihat dalam beberapa kerja sama yang sudah disepakati. Ada yang membuat Cina ketakutan atau tidak. Jika tidak maka Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI diwarnai interupsi dari anggota DPR terkait Muslim Uighur di Cina. Hal itu khususnya, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami suku Uighur di Xinjiang, Cina. Beberapa anggota parlemen menilai institusi DPR harus meminta kepada Pemerintah untuk bersikap terkait apa yang dialami Suku Uighur tersebut. Menurut mereka Indonesia harus melakukan upaya-upaya dan langkah agar tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM di dunia.
Sejak April 2017, pemerintah Cina sudah menangkap setidaknya 800 ribu dan kemungkinan dua juta masyarakat Uighur kedalam kamp yang mereka sebut ‘kamp re-edukasi’. Pemerintah Cina sebelumnya membantah keberadaan kamp tersebut. Namun sekarang mereka melegalisasinya dan mengatakan kamp tersebut sebagai pusat pelatihan untuk ‘melawan ekstrimisme’.
Tapi faktanya mereka yang ditangkap termasuk rektor universitas dan pejabat partai. Kamp ‘pusat re-edukasi’ telah memaksa Muslim Uighur menjalani program doktrinasi seperti mempelajari propaganda komunisme dan memberikan salam hormat kepada Presiden Cina Xi Jinping.
Tapi mereka Pemerintah Cina bersikeras kamp tersebut pusat pelatihan. Menurut mereka memasukkan Muslim Uighur kedalam sebuah kamp konsentrasi adalah upaya untuk menangkal terorisme global. Ketua Dewan Uyghur Human Rights Project (UHRP) Nury Turkel meminta negara-negara demokrasi untuk menentang Cina atas perlakuan mereka terhadap Muslim Uighur. Turkel mengatakan perlakuan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur ‘mengarah ke genosida’.
Menurut Turkel ini waktunya untuk bertindak, sesuatu yang buruk terjadi dalam pengawasan kami. Turkel mengutip sejarawan dari Universitas GeorgeTown, yang mengatakan Beijing berusaha mencari solusi final atas permasalahan kultural di Xinjiang dengan membersihkan budaya Uighur. Turkel mengatakan pemerintah Cina melihat Uighur sebagai kanker.
Hari ini, ribuan anak-anak dengan orang tua yang dikurung di kamp-kamp konsentrasi atau juga disebut ‘Camp Cuci Otak’ dikirim ke panti asuhan. Jalan-jalan di wilayah Xinjiang kosong, dengan rumah-rumah yang terkunci dan toko-toko ditutup karena pemiliknya ditangkap (Hidayatullah.com/16/09/2018).
Pemerintah Cina mengumumkan rencana untuk mengakhiri “Kebijakan Satu Anak”, tetapi keluarga Uighur selalu diawasi, dan aborsi paksa adalah hal yang umum. Setelah aneksasi Turkestan Timur oleh Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, penindasan terhadap Muslim Uighur telah dimulai secara perlahan. Pertama, anak-anak berhenti belajar tentang Alquran , kemudian dilarang pergi ke masjid. Diikuti dengan larangan berpuasa Ramadhan, larangan memelihara jenggot, larangan untuk memberi nama Islam untuk bayi,dll.
Saat ini ada kamera pengenalan wajah dimana-mana, kode QR telah dipasang dilur rumah serta di dalam peralatan dapur milik Muslim Uighur. Perempuan Muslim dipaksa menikahi suku Han Cina. Setiap saat, Uighur dapat dihentikan oleh polisi dan dikirim ke kamp, orang-orang tidak diizinkan untuk berpikir tanpa izin Komunis Cina. Terlepas dari kerasnya kekejaman yang ditularkan pada Muslim Uighur oleh pemerintah Cina, negara ini masih duduk dengan bangga sebagai anggota tetap PBB, dan dengan sederhana menyangkal keberadaan hal-hal ini.
Terlepas dari semua bukti, Cina bahkan tidak mengizinkan PBB untuk melakukan investigasi secara bebas di wilayah tersebut. Bahkan para wartawan yang mencoba untuk mengngkap situasi telah ditahan oleh polisi. Dunia harus menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan ini, sehingga kita tidak mengikuti jejak Cina, dimana mempraktikkan agama yang kita yakini dianggap sebuah kejahatan.
Kedzaliman terhadap muslim Uighur melengkapi berbagai kedzaliman yang terjadi di berbagai negeri muslim. Nasionalisme dan konsep negara bangsa menelikung umat Islam di dunia dan penguasanya (termasuk Indonesia) untuk membantu saudaranya dengan bantuan yang riil. Keberadaan penduduk muslim dunia, tentara dan senjata mereka yang banyak tak berguna untuk membebaskan saudara-saudara seakidah gara-gara paham nasinalisme tersebut.
Umat Islam membutuhkan Khilafah karena hanya khilafah punya wibawa untuk melawan rezim dzalim dengan menyatukan seluruh potensi yang dimiliki dibawah satu kekuatan politik dan komando.[Tri S].