Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Pengasuh Grup Online Obrolan Wanita Islamis ( BROWNIS)
Beberapa hari terakhir kembali marak kisruh yang ditimbulkan BPJS. Beberapa stasiun televisi tanah air bahkan menayangkan siaran khususnya. Berbagai fakta dilapangan disajikan. Dan sejak diluncurkan pada tahun 2014 lalu, bukannya kesejahteraan hidup bagi rakyat karena terjamin kesehatannya, BPJS justru panen gugatan baik dari pihak Rumah Sakit, praktisi kesehatan dan rakyat sendiri.
Ketika diminta untuk berbicara satu meja, masing-masing pihak mengklaim dia pihak yang paling dirugikan. Persoalan kemudian mengerucut pada sistem pembayaran iuran yang diterima BPJS yang tidak berjalan sesuai sistem, sehingga berimbas kepada pelayanan obat dan biaya operasional rumah sakit.
Solusi yang kemudian dilaksanakan oleh BPJS menggambarkan ketidakpahaman mereka sebagai badan penyelenggara kesehatan yang sebenarnya. Karena kebijakan kali ini kembali tidak memihak kepada masyarakat. Mudahnya BPJS mempersempit kehidupan rakyat. Sudahlah mereka dibebani dengan pembiayaan premi yang meskipun beragam disesuaikan kelasnya, tetap ditambah bagi masyarakat Indonesia yang menjadi peserta BPJS Kesehatan akan dipaksa menanggung hutang. Bahkan, bakal ada sanksi bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran tiap bulan. Sanksinya berupa tidak bisa memperpajang SIM, STNK hingga Paspor.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun. Meskipun telah mendapatkan suntikan dana Rp 4,9 Triliun dari pemerintah lewat APBN, tetap masih kurang untuk menutup defisit BPJS. Karena pembiayaan BPJS juga lebih besar. (TRIBUNNEWSBOGOR.COM /12/ 11/2018)
Bagaimanapun upaya penguasa untuk menyelesaikan persoalan BPJS ini, namun jika tetap dibebankan kepada rakyat, persoalan justru akan semakin berlarut-larut. Karena rakyat tak didukung dengan akses ekonomi yang menyejahterahkan. Bahkan, rakyat juga tidak mendapatkan rasa aman ketika mereka beraktifitas memenuhi setiap kebutuhan hidupnya. Inilah bentuk kedzaliman penguasa hari ini. Memaksa dengan berbagai cara agar masyarakat tunduk pada kemauannya. Menggunakan kekuatan otoriternya untuk terus memeras darah rakyat. Inilah wajah hakiki kepemimpinan sekuler. Tak ada kepedihan yang nampak ketika rakyatnya mengalami salah urus. Diurus dengan aturan buatan manusia, yang sarat hawa nafsu dan kemanfaatan.
Dalam Islam fungsi penjaminan baik kesehatan maupun ketenagakerjaan BPJS diambil alih oleh negara. Tidak akan diberikan kepada pihak ketiga maupun swasta. Karena memang demikianlah tujuan negara didirikan, yaitu sebagai pengurus urusan rakyat. Memastikan seluruh individu rakyat mendapatkan haknya. BPJS sejak awal pengakodan secara syara sudah pasti kebatilannya. Karena tidak ada kejelasan transaksi awal (akod). Jika BPJS berfungsi sebagai tabungan, nyatanya premi yang dikumpulkan tidak pernah bisa diambil kapanpun si penabung inginkan. Jika BPJS berfungsi sebagai penjamin, siapa yang benar-benar menjadi penjaminnya? Direkturnyakah atau stafnya, karena mereka berbentuk badan. Sementara dalam Islam penjamin harus seseorang bukan badan. Agar ia benar- benar bisa memberikan jaminan dengan hartanya kepada orang yang ia tanggung jaminannya. Demikian pula bagi yang dijamin oleh penjamin, dia tidak harus membayar sepeserpun. Inilah akhirnya yang membelit rakyat, sebagai pihak yang dijamin, akhirnya menjadi kesulitan membayar premi. Dikarenakan upah mereka tidak mencukupi untuk membiayai seluruh biaya hidup yang sudah mahal.
Dan bagi negara, ini adalah bentuk pengabaian terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Dengan kepemilikan SDA milik negara atau umum yang dikelolanya, negara akan punya harta yang cukup untuk menjamin dan memastikan kesejahteraan itu diraih. Bukan hanya diselenggarakan.
Hanya kepemimpinan Islam yang mampu memberi pelayanan terbaik untuk rakyat melalui penerapan aturan-aturan Islam. Karena fungsi penguasa adalah Ra'in (Pengurus urusan rakyat). Karena dalam Islam, perkara kesehatan adalah tanggung jawab pemimpin negara, sebagaimana perkara-perkara yang lainnya yang secara syara telah ditetapkan As Syari', Allah swt, untuk diterapkan. Kepemimpinan—dalam konteks bernegara—adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda : Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad). Wallahu a'lam bishshowab.
*sumber gambar : Harian Nasional