Ulfah Noor (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Sebanyak 41 masjid yang ada dikantor pemerintahan terindikasi sebagai tempat penyebaran paham radikal, puluhan masjid ini berada di kementrian, lembaga negara, dan BUMN. Temuan ini merupakan hasil survey Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sepanjang 29 september sampai oktober 2017.(Liputan6.com,Jakarta).
Ketua Dewan Pengawas P3M, Agus Muhammad menyampaikan survey dilakukan di 100 mesjid Kementrian, lembaga negara, dan BUMN pada saat sholat jum’at. Indikasi radikalisme itu ditemukan dari materi khotbah shalat jum’at yang disampaikan para khatib, “dari 100 masjid sebanyak 41 masjid itu terindikasi radikal,” ungkap Agus di Gedung PBNU jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Minggu (8/7/2018).
Mengetahui adanya pemberitaan seperti itu, tentu menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, karena pada faktanya bisa jadi banyak masyarakat yang tidak paham apa arti dari kata radikal tersebut, mendengar kata radikal langsung dihubungkan dengan kata teroris, akhirnya rakyat dibuat ketakutan, dan terjadi sikap saling curiga terhadap sesama saudara seiman.
Polemik mengenai kata “Radikal” tentu akan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan kecemasan dan memecah kerukunan di kalangan umat Islam. Dalam acara konferensi pers Para Pemuka Agama Kebangsaan di Kantor Center For Dialouge an Cooperation Among Civilization (CDCC), Selasa (10/7). Din Syamsudin meminta kepada masyarakat untuk tidak mempercayai penilaian yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa. Sebab, penelitian tersebut bisa dilakukan dengan paradigma yang salah terhadap pemahaman radikalisme (republika.co.id) .
Untuk itu diperlukan upaya untuk memahamkan kepada masyarakat umum apa itu radikal. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap radikal bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas territorial negara, ras, suku dan sekat lainnya. Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya sangat stereotif, over simplikasi dan subyektif. Label radikal ini dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara pandang serta sikap keberagaman dan politik yang kontradiksi dengan mainstream (arus utama).
Dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi ”Radikal” adalah orang atau kelompok yang memiliki prinsip-prinsip seperti menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, akhirnya pemaknaan dan implementasi kontraterorisme melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran.
Indikator konten radikal ini dilihat dari tema khotbah jum’at yang disampaikan seperti ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain, sikap positif terhadap khilafah, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan nonmuslim.
Miris dan menyedihkan, sebagai seorang muslim jika penilaian terindikasi teroris cakupannya seperti itu. Dengan kategorisasi tersebut akhirnya banyak Ulama/Penceramah saat ini dicap sebagai Ustadz radikal, padahal sejatinya yang disampaikan adalah ajaran Islam sesungguhnya.
Ketika penceramah atau aktivitas dakwah yang mengajak umat muslim mengikuti seluruh perintah yang Allah perintahkan untuk melaksanakan islam secara menyeluruh (kaffah) tidak hanya dalam hal ibadah saja melainkan yang lain seperti : ekonomi, politik, muamalah dan yang lainnya, apakah ini pantas di beri label radikal ? Apakah ketika umat setuju dengan diterapkannya aturan Allah juga disebut radikal ?
Sungguh disayangkan apabila Radikal di tujukan kepada orang atau pihak atau kelompok yang berbeda pandangan, apalagi ditujukan keada para ustadz atau penceramah yang mennyampaikan ajaran Islam kepada umat Islam. Dimana kita ketahui bersama bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Justru Islam mempunyai peraturan yang menyeluruh bagi kehidupan.
Jika isu ini terus dibiarkan dan kita sebagai seorang muslim hanya diam tidak berbuat apa-apa bisa dipastikan pada akhirnya umat tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan tentunya akan menghambat pada kebangkitan Islam serta membuat umat jauh dari pemahaman dan bersikap Islam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sudah menjadi kewajiban kita bersama sebagai seorang muslim untuk mendakwahkan Islam, agar ajaran Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil ‘Alamin bisa diterima oleh seluruh manusia baik muslim maupun non muslim, sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun dan Penyayang” ( Al-Baqarah (2)-218 ). Wallahua’lam.