Oleh: Nuriyah Fakih S. Si
Selama ini, ibu rumah tangga selalu dianggap golongan yang paling aman dari penularan virus HIV/AIDS dengan alasan jauhnya mereka dari gaya hidup yang beresiko tertular HIV/AIDS. Namun fakta di lapangan berkata lain.
Menurut Direktor Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan, dr.H.M.Subuh, MPPM walaupun pria masih berada di urutan teratas pengidap HIV/AIDS namun golongan ibu rumah tangga adalah kelompok masyarakat yang paling tinggi peningkatan pengidap HIV/AIDS di seluruh Indonesia.
Dalam kasus HIV/AIDS ini, menurut Dewan Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani wanita ibarat _silent population_ yang sebelumnya tidak disadari akan menyumbang cukup banyak kasus penularan virus HIV/AIDS.
Wanita, terutama ibu rumah tangga memiliki peluang besar menjadi silent population selain karena banyak yang tidak teredukasi cukup baik tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi juga karena tidak punya posisi tawar dan cara berkomunikasi dengan pasangan yang kemudian menyebabkan penularan HIV/AIDS.
Ibu rumah tangga ibarat pintu gerbang, jika ia tertular dari pasangannya maka yang terancam setelahnya adalah anak-anaknya karena ibu rumah tangga adalah kelompok yang sebagian besar akan menjadi ibu hamil dan meneruskan keturunan (www.femina.co.id)
Dalam acara Kampanye Kilau Generasi Bebas HIV dan AIDS di Semarang Jawa Tengah, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi pada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Dermawan mengungkapkan jumlah anak penderita HIV/AIDS di Indonesia cukup tinggi. Hingga 2018 ada sekitar 17.000 anak yang terkena penyakit mematikan ini. (tribunjateng.com)
Beberapa kasus anak dengan HIV/AIDS (ADHA) ditemukan di beberapa daerah seperti medan, solo, kudus, Tulung Agung , NTT dan yang terbaru di daerah Samosir.
Miris sekali melihat jumlah anak-anak penderita HIV/AIDS di negri ini cukup tinggi, negri yang mayoritas penduduknya muslim. Apalagi anak-anak adalah calon agen perubahan yang akan menentukan corak kehidupan bangsa ini kedepannya.
Mau dibawa kemana arah bangsa ini ketika generasi penerus bangsa sudah terpapar virus HIV. Gaya hidup yang beresiko menularkan virus mematikan dari orang-orang terdekat merekalah yang menjadi penyebabnya.
Dalam banyak kasus, penyakit HIV/AIDS ditularkan kepada anak-anak oleh ibu melalui ayah pengguna narkoba, ayah pengguna layanan seks komersial atau ayah pelaku gay.
Gaya hidup seperti ini hanya tumbuh subur di dalam sistem yang mengagungkan kebebasan berperilaku. Perilaku seks bebas sudah sangat memprihatinkan, begitu juga aktivitas LGBT yang saat ini sudah mendapat angin segar d negri ini. Menurut Ketua Presidium IPW (Ind Police Watch) Neta S Pane, sepanjang tahun 2017 kasus pergaulan bebas dan LGBT sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi di tahun 2018 ini. (https://www.panjimas.com)
Kasus penderita HIV/AIDS anak-anak yang cukup tinggi ini harusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Sampai saat ini pemerintah sudah mencanangkan program ABCD untuk menanggulangi penyakit mematikan ini. Cara program ini dengan A Abstinence (puasa seks) B Be Faithful (setia) C Condom D Drug. Jika tidak mampu puasa seks dan setia dengan pasangan maka gunakan kondom ketika berhubungan seks.
Alih-alih memberikan solusi untuk menanggulangi penyebaran penyakit ini, namun program ABCD justru menjadi solusi pragmatis yang makin memberi peluang untuk melakukan seks bebas asal dilakukan secara aman. Ketika peluang seks bebas terbuka lebar, peluang munculnya HIV/AIDS juga akan besar.
Ditambah lagi ada upaya yang kuat dari berbagai pihak agar masyarakat tidak phobia terhadap HIV/AIDS. Kampaye tolak diskriminasi terhadap ODHA atau ADHA digencarkan agar mayarakat menerima mereka seperti masyarakat pada umumnya. Dengan kampaye ini menjadikan kewaspadaan masyarakat akan penyakit mematikan ini akan berkurang sehingga memberi peluang masuknya HIV/AIDS. Begitu juga terhadap pelaku LGBT, mereka meminta masyarakat untuk merangkulnya bukan mengucilkannya.
Inilah yang kemudian memberi angin segar bagi pelaku seks bebas dan LGBT untuk terus menerus melakukan aktivitasnya. Disamping lemahnya peran negara dalam menangani masalah seks bebas LGBT sehingga tidak memberi efek jera bagi pelaku. Dampak buruknya akan berpengaruh pada masyarakat terutama generasi penerus bangsa.
Maka wajar jika kasus HIV/AIDS ini bagaikan fenomena gunung es, setiap tahun terus mengalami peningkatan. Antara data dan kenyataan sangat jauh berbeda. Hal ini terjadi karena solusi yang ditawarkan untuk menanggulangi HIV/AIDS tidak mampu memutus rantai penyebaran HIV/AIDS. Solusi pragmatis yang bersumber dari kecerdasan akal manusia tidak akan memberikan solusi yang tuntas bahkan memunculkan masalah baru.
Berbeda dengan solusi yang ditawarkan dalam Islam yang bersumber dari Al Kholiq. Islam betul-betul mampu memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS dengan mencegah pergaulan bebas dan prilaku menyimpang (LGBT) ada d tengah-tengah masyarakat. Islam membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan Islam dengan larangan mendekati zina serta menundukkan pandangan. Islam mencegah rangsangan yang memunculkan naluri seksual yang menyimpang terindra oleh masyarakat. Dan ketika syariat dilanggar, akan ada sanksi yang diberikan pada pelanggar sehingga menimbulkan efek jera bagi yang lain. Dan dampaknya, prilaku menyimpang baik seks bebas atau LBGT tidak menyebar secara luas.
Sudah terbukti, hanya hukum Allah sajalah yang mampu mengatasi segala permasalahan, termasuk mengatasi masalah penyakit HIV/AIDS ini. Sehingga tidak ada cara lain, untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS pada anak-anak adalah dengan mengembalikan penyelesaian kepada Islam bukan dengan tetap berpegang pada sistem yang mendewakan liberalisme dan sekulaeisme.