Oleh: Sumiati (Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif )
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi adalah sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan dan pengurangan, yang masih diperbolehkan. Dan mendiamkan atau membiarkan. Disini sangatlah jelas apa yang menjadi definisi toleran itu sendiri. Siapapun yang paham Bahasa Indonesia yang baik dan benar, pasti tidak akan salah dalam memahami arti toleransi.
Sementara saat ini mayoritas umat salah memahami toleransi, mereka memilih ikut merayakan tahun baru masehi, natalan, dan hari-hari besar lainnya yang sejatinya itu bukanlah budaya islam. Mereka sibuk mengisi hari besar itu sebagaimana penganutnya, bahkan beberapa hari ada berita jika cawapres no urut 2 akan mengekspresikan natal dan tahun baru bersama keluarga. Miris sekali jika orang yang demikian masih menjadi pilihan umat. Mau dibawa kemana umat dan negri ini. Dari sikap dan perilakunya bagi yang peka dan menganalisa data dengan islam, pastilah tidak akan keliru menilainya.
Apa yang terjadi saat ini, sungguh bukan hanya hilangnya harta karena pesta pora, namun terkikisnya akidah bangsa secara sistematis.
Telah jelas Rasulullah saw mencontohkan kepada kita, sikap toleransi sejak 1400 tahun lebih, ketika Rasulullah saw mendawahkan islam kepada musyrik mekah. Rasulullah saw ditawari harta, tahta dan wanita, namun Rasulullah saw yang mulia menolaknya hingga bersabda: Andaikan bulan ditangan kananku, matahari ditangan kirikupun, dawah islam tidak akan kuhentikan.
Masya Allaah.
Juga Firman Allaah SWT:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ ﴿٦﴾
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.""
(Q.S.109:6)
Inilah yang menyebabkan Buya Hamka memilih meninggalkan jabatan dunia sebagai Ketua MUI ketika didesak pemerintah untuk mengucapkan "Selamat Natal" yang meskipun anggapan HANYA BERUPA kata-kata keakraban atau toleransi namun disisi Allah nilainya justru menunjukkan kerendahan aqidah seorang hamba yg tidak paham atau tidak mau mengerti akan konsep ilmu agama yang disisi lain paham akan ilmu-ilmu umum yang sifatnya tiada kekal, tak berimbas akan keselamatan akhiratnya yang abadi.
Disinilah konsekuensi berani mengucapkan Natal dan lain-lain yang berkaitan dengan agama lain:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا۟ بَيْنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا۟ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ﴿١٥٠﴾
"Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain)," serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir),"
(Q.S.4:150)
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا ﴿١٥١﴾
"merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan."
(Q.S.4:151)
Saatnya kembali pada Islam untuk mendapatkan keridhaan Nya. Kembali menegakkan kekhilafahan yang mampu menjadi junnah bagi umat.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."
(Q.S.33:21)