Oleh: Kunthi Mandasari
(Member AMK Regional Jawa Timur)
Tepatnya tanggal 7 Desember 2018 telah dirilis Indeks Kota Toleransi (IKT) oleh SETARA Institut. Di mana hasilnya bukan ibu kota DKI Jakarta yang menduduki peringkat pertama dalam memberikan toleransi. Karena nilai yang diperoleh Jakarta rendah pada variabel tindakan pemerintah dan regulasi sosial. Padahal pada awal bulan Desember lalu baru saja terjadi Reuni Akbar 212 dengan total peserta jutaan manusia dari berbagai kalangan dengan damai dan tertib. Justru kota Singkawang yang dinobatkan sebagai kota paling toleran dari 94 kota di Indonesia versi SETARA Institute.
Tujuan pengindeksan ini antara lain untuk mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya masing-masing, sehingga dapat menjadi pemicu bagi kota-kota lain untuk turut bergegas mengikuti, membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya. Indonesia sendiri merupakan negeri yang kaya akan perbedaan. Bukan hanya ras, suku bahkan agama.
Ia mengatakan bahwa dalam menilai seseorang seharusnya pada aspek yang misalnya terkait dengan kinerjanya. "Jangan dilihat seseorang dari sisi agama, suku, etnis, tapi dari prestasi, loyalitas, kesetaraan yang ada," ungkap Tjahyo Kumolo. Hal itu dirasanya penting dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin berat dan kompleks, kompas.com, (07/12/2018).
Menjelang akhir tahun seperti ini isu intoleransi semakin mengemuka. Sikap sebagian kaum muslim yang menolak mengucapkan selamat hari natal dianggap sebagai sikap tak bertoleransi. Setiap tahun pula terjadi polemik penolakan sebagian karyawan muslim yang enggan mengenakan atribut natal.
Berbeda lagi dengan perlakuan yang diperoleh umat muslim dalam melaksanakan kegiatan keagamaannya yang justru mendapat penentangan. Seperti larangan penggunaan cadar di salah sejumlah universitas, celana cingkrang dan jenggot yang selalu di indetikan dengan teroris, pembubaran sejumlah kajian dll.
Toleransi menurut KKBI adalah
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dari sini cukup jelas bahwa toleransi itu cukup membiarkan orang lain melakukan apa yang diyakini.
Namun pandangan hidup seseorang bisa mempengaruhi cara berpikir. Termasuk penilaian terhadap makna toleransi. Terlebih para kapitalis selalu berlindung dibalik HAM untuk menuntut toleransi. namun hal yang sama tidak berlaku bagi kaum muslim.
Syariat Islam dalam kehidupan bernegara memberikan petunjuk yang jelas dalam menyikapi orang-orang kafir (non muslim) dan berlaku adil terhadap mereka sesuai timbangan syariat sehingga kaum muslimin tidak mendzalimi mereka demikian juga terjaga dari pengaruh buruk mereka.
Sedangkan dalam Islam semua orang yang menyandang sebagai warga negara akan menikmati semua hak, di samping menjalankan semua yang diterapkan oleh syara'. Tidak ada perbedaan antara muslim atau non muslim. Allah SWT berfirman:
“Apabila engkau menetapkan hukum di antara manusia maka hukumlah dengan adil.” (QS.an-nisa:58).
Negara tidak boleh memberikan keistimewaan kepada individu-individu tertentu dalam masalah hukum, pengadilan, dan pengaturan berbagai urusan tanpa memandang lagi ras, agama, suku atau hal lainnya.
Meskipun Islam mengajarkan untuk berbuat baik dan adil terhadap orang kafir akan tetapi Islam tidak memperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang kafir. Tidak boleh menaati perintah mereka yang berupa penyimpangan syariat, atau mengikuti sistem dan jalan hidup mereka serta tidak boleh membantu ibadah mereka.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku’.” (Al Kafirun: 1-6)
Serta larangan tegas mengikuti gaya hidup yang menggambarkan ciri khas mereka.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bertasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk mereka.”(HR. Ahmad, Abu Dawud).
Maka dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa memaknai toleransi yang benar hanya bisa terwujud jika diterapkan hukum Allah SWT secara menyeluruh. Sehingga hak-hak dan kewajiban baik non muslim maupun muslim bisa terealisasi. Untuk penerapan hukum Allah SWT secara sempurna hanya bisa terlaksana apabila ada negara yang menaunginya yakni khilafah.