Oleh Istikomah
Keadilan di negeri ini kian menjadi barang mewah. Kasus demi kasus terpapar tanpa keadilan. Kasus yang sempat booming menimpa Ibu Baiq Nuril. Ini adalah salah satu contoh kasus yang menunjukkan betapa keadilan di negeri ini begitu mudah “dibeli”. Betapa tidak, Ibu Baiq menjadi korban pelecehan oleh mantan kepala sekolahnya justru berbalik menjadi tersangka. Ternyata, jika kita berselancar di dunia maya (dumay), kita akan banyak temukan kasus-kasus serupa yang menguap begitu saja. Sebagaimana yang dialami oleh Anindya Joediono. Dimana keadilan itu berada?
Di masa yang hampir sama, muncul kasus Gus Nur yang dituduh mencemarkan nama baik ormas. Berikutnya, Habib Bahar Bin Smith juga dituduh mencemarkan nama baik RI1. Semua langsung dijadikan tersangka. Sementara itu, pelaporan masyarakat atas Sukmawati, Victor Laiscodat, Ade Armando, Abu Janda tak juga diproses. Inilah sedikit dari ketidakadilan-ketidakadilan yang tertangkap secara kasat mata. Tak berlebihan jika kemudian dikatakan hukum di negeri ini benar-benar tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Miris dengan fakta tersebut. Indonesia yang sering memproklamirkan diri sebagai negara hukum, ternyata belum terindentifikasi selalu bertindak atas nama hukum. Dan, beginilah fakta hukum di negeri demokrasi. Sistem negara yang dibangun atas dasar hukum buatan manusia. Sifat elastisitas hukum sebagai produk kesepakatan manusia ini tak terelakkan. Keelastisan ini mutlak membuat hukum yang berlaku bisa ditarik ulur sesuai kesepakatan yakni oleh pihak yang berkuasa.
Pemberlakuan hukum pun kepada siapa tentu bisa disesuaikan kepada yang dikehendaki. Inilah realisasi hukum dalam demokrasi. Bisa diterapkan hanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Akhirnya, membayangkan sebuah keadilan yang teraplikasi melalui sistem demokrasi di negeri bagai jauh panggang dari api. Bukankah saatnya kita kembali kepada aturan Ilahi?
Istikomah (Penulis Pemerhati Perempuan dan Generasi)