Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Laskar Merah Putih Kalsel memilih jalan audiensi di Kantor DPRD Kalsel. Belasan aktivis serta sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam kelompok ini meminta kepastian dari legislatif dan eksekutif Kalsel. Terkait keluarnya SK Operasi Produksi PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang akan beroperasi di Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah (HST), dan Tabalong. Mereka meminta komitmen kuat dari Pemprov Kalsel menolak secara resmi pertambangan di Meratus.
Aspirasi dari Laskar Merah Putih ditanggapi dengan tenang oleh Kepala DLHD Kalsel. Dia membenarkan bahwa PT. MCM pernah mengajukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pertambangan, lebih-lebih untuk Kabupaten HST. Namun, dia juga memastikan proses pengajuan dokumen AMDAL tak bisa dilanjutkan gara-gara beberapa alasan. Salah satunya karena adanya penolakan dari masyarakat, sehingga tidak bisa diteruskan, ujarnya.(jejakrekam.com, 07/11/2018).
Lantas bagaimana jika dibelakang hari nanti, pihak perusahaan kembali mengajukan permohonan Amdal dan dapat memenuhi semua aturan yang dipersyaratkan, apakah itu menjadi peluang perusahaan?
Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Justitia Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) gelar aksi membagikan ratusan tangkai bunga warna hitam di depan pintu masuk ULM Banjarmasin, Sabtu (27/10/2018). Aksi bertajuk “Menentang Pemerintah Memberikan Duka Pada Meratus”. Mapala Justitia juga melayangkan surat somasi kepada pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM, meminta SK Nomor 441.K/30/DBJ/2017 itu dicabut. Surat somasi I itu jika diindahkan, Mapala Justitia akan mengambil langkah hukum.
Penolakan aktivitas pertambangan di pegunungan Meratus terus mengalir melalui berbagai aksi maupun di media sosial dengan hastag #SaveMeratus. Tak terkecuali Gubernur Kalsel yang memberi dukungan terhadap penolakan tambang tersebut.
Save meratus, kita seperti maunya rakyat. Sesuai dengan kewenangan yang ada pada Pemprov, kita tidak melebihi, karena itu pelanggaran, sebut gubernur (klikkalsel.com, 27/10/2018).
Aspirasi publik, masyarakat Kalimantan Selatan menolak wacana pertambangan Pegunungan Meratus lewat gerakan #SaveMeratus sudah sampai ke telinga Presiden. Namun, hingga saat ini Presiden belum mengambil sikap tentang Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM. SK ini akan merestui PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang menambang tiga kabupaten yaitu Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai Tengah yang sedikit banyak berada di bentang karst Meratus (jejakrekam.com, 08/11/2018).
Ditolaknya gugatan WALHI oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Menteri ESDM dan PT Mantimin Coal Mining atas terbitnya SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 mendapat sorotan berbagai pihak. Dampak tambang sudah sangat jelas, tidak menguntungkan bagi masyarakat dan lingkungan. Perubahan iklim atau tatanan kehidupan pasti berpengaruh untuk wilayah itu maupun sekitarnya. Selain itu, sistem pertanian dan perkebunan identitas HST akan terganggu bahkan bisa hilang, karena sistem irigasi rusak. Kota Barabai pun bisa tenggelam jika banjir.
Konflik antara masyarakat sekitar pegunungan Meratus dengan perusahaan tambang pun kian meruncing. Sayangnya, negara tak berperan membela rakyatnya. Jelas nampak Kapitalisme berpihak pada pemilik modal, meski merugikan rakyat.
Dalam sistem Islam ada yang disebut sebagai kepemilikan umum (public ownership). Yaitu hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan berserikatnya jamaah (masyarakat umum) dalam menggunakan (memanfaatkan) sesuatu. Hal itu tampak dalam: pertama, segala sesuatu yang menjadi fasilitas umum (dan menjadi hajat hidup orang banyak), jalan dan lapangan. Karena itu, manusia berserikat dan menjadi tempat umum.
Kedua, barang-barang yang secara alami tidak mungkin dimiliki oleh individu, seperti sungai. Allah SWT telah menetapkan benda-benda seperti itu sebagai hukum syirkah di antara manusia dalam kepemilikan. Manusia berserikat dalam memiliki, karena alasan membutuhkannya. Sehingga sungai, laut, danau, dan lainnya merupakan kepemilikan umum.
Ketiga, barang-barang tambang (mineral) yang bersifat tak terbatas, seperti sumur- minyak, tambang batu bara, emas, gas, dan sebagainya. Rasulullah Saw bersabda: “Tiga hal yang tidak pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun) yakni air, api dan padang rumput.”
Juga sabda Rasulullah Saw: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.”
Diriwayatkan dari Abyadh bin Jamal bahwasanya ia telah meminta kepada Rasulullah Saw untuk (memperoleh bagian) mengelola tambang garam, lalu Rasulullah Saw memberikannya. Kemudian ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan harta yang terus mengalir.” Maka beliau menarik kembali (pemberian tersebut).
Dalam Islam sangat jelas dan tegas sumber daya alam (SDA) dimiliki oleh umat. Dan negara berperan sebagai pengelolanya untuk pemanfaatan SDA itu bagi rakyat. Tak ada individu ataupun perusahaan swasta yang boleh menguasai SDA. Sehingga kemakmuran rakyat bisa tercapai dengan salah satu pos pendapatannya dari SDA ini.
Penguasa harus mengelola seoptimal mungkin SDA negeri dengan tetap memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan ekosistem. Namun demikian, strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme-sekular seperti sekarang ini. Yang terjadi, justru pengerukan kekayaan alam, sementara rakyat hanya mendapat dampak kerusakan. Hal ini akibat SDA dikelola asing dan swasta.
Saatnya, pengelolaan SDA diatur dengan undang-undang dan peraturan bersumber dari syariat Allah SWT. Yang Mahatahu segala sesuatu, pasti jauh lebih mengetahui yang terbaik. Menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam mengelola sumber daya alam akan membawa berkah bagi manusia.[]
*) Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi. Berdomisili di HSS, Kalsel.