Khilafah Negara Mandiri, Tak Perlu Hutang dan Investasi Asing

Oleh Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Catatan LSM Fitra (2017) Jakarta menyebutkan, saat ini tak satu pun negara yang tidak berutang. Bahkan Jepang, Italia dan Inggris serta AS diketahui memiliki utang amat besar, 3-5 kali lebih besar daripada RI. Namun, negara-negara itu dinilai sukses mengelola utangnya untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah yang benar-benar mendorong peningkatan bisnis dan usaha kalangan dunia usaha dan masyarakat luas (Muslimah.news.com/22/10/2018). 

Posisi negara-negara tersebut dalam percaturan politik dunia adalah sebagai pengemban idiologi kapitalis-sekuler, atau paling tidak mengambil idiologi tertentu dalam kehidupan bernegaranya, maka road map nya akan lebih jelas dalam mengatur keuangan negara. Meskipun salah. Dampak kesalahan konsep keuangan dengan melanggar aturan Allah swt, bisa dilihat dari limbungnya ekonomi, krisis finansial siklik, dan ketidak adilan ekonomi. 

Lalu bagaimana membiayai kebutuhan keuangan pembangunan tanpa terjerat utang dan investasi asing? 

Di dalam Negara Khilafah Islam, Bayt al-Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan. 

Pertama, bagian fa’i dan kharaj. Fa’i adalah salah satu bentuk rampasan perang dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam. 

Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah ijin dari al-Syari’ kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak. 

Ketiga,bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. 

Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah Saw, beliau mebangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). 

Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur (Karim, Ekonomi Makro Islami). 

Menurut Ibnu Khaldun, dalam Welfare State Islami, pemerintah hendaknya menggunakan kekuasaannya untuk membuat fungsi pasar berjalan lancer, dengan membuat berbagai infrastruktur yang berfungsi memperlancar kegiatan ekonomi. Negara juga harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara harus mengutamakan keadilan, pembangunan dan kemakmuran serta menginginkan negara yang menjamin penerapan syariah dan negara yang berfungsi sebagai instrumen pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 

Menurut Ibnu Taymiyyah,aktivitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infrastruktur semisal transportasi dan komunikasi yang memakan biaya yang tinggi, negara memiliki kewajiban menanggungnya. Sebuah pertimbangan untuk menjadikan bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan, jalan dan sebagainya. Abu Yusuf mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur dalam penggunaan dana publik untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara. Indonesia sebagai sebuah negeri yang dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial. 

Dengan mekanisme kebijakan fiskal yang sedang dijalankan saat ini, Indonesia hanya memiliki dua alternatif pemasukan utama, dari berbagai jenis ragam pungutan pajak dan dari pembiayaan utang baik dari dalam ataupun luar negeri. Sehingga dibutuhkan terobosan baru untuk mencari alternatif  pemasukan yang inovatif, yang dalam kajian ekonomi juga berhasil menggerakkan roda perekonomian secara produktif. 

Dalam kebijakan fiskal APBN Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dilakukan bersama-sama oleh Indonesia dan swasta dalam contract production sharing. Dalam kebijakan fiskal Bayt al-Mal sumber daya alam dalam bentuk hasil laut, hasil hutan, hasil tambang, adalah milik rakyat, bukan milik negara. Karena itu harus diolah, dimanfaatkan, atau dijual hasil pengelolaannya untuk kepentingan rakyat. 

Melihat skema pembayaran utang yang dimiliki Indonesia saat ini, diperkirakan Indonesia tidak akan pernah terbebas dari jebakan utang sampai kapanpun. Ini berdampak pada semakin beratnya beban yang harus ditanggung masyarakat, karena penyelesaian utang dan bunganya semakin menyerap alokasi dana APBN. Kondisi produktivitas investasi masyarakat juga akan berkurang dengan diadakannya berbagai pungutan pajak yang baru sebagai akibat upaya pemerintah mencari alternatif tambahan pemasukan negara. 

Dibutuhkan sebuah lompatan ekonomi bagi Indonesia untuk bisa terbebas dari jerat utang, dengan pola kebijakan fiskal yang sangat berbeda dengan konsep yang sedang berjalan saat ini. Konsep yang ditawarkan itu adalah mekanisme kebijakan fiskal Bayt al-Mal, sebuah sistem keuangan negara berbasis syariah. Dengan perhitungan Bayt al-Mal berbasis syariah, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh utang Indonesia secepatnya, untuk kemudian Indonesia melesat menuju kesejahteraan dengan syariah. [Tri S].

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak