Oleh Rosmiati, S.Si. (Muslimah Pembelajar Islam Kaffah)
Hari ibu kembali diperingati, hal ini dilakukan dengan harapan agar memori para generasi hari ini mengetahui akan jejak langkah perjuangan para kaum perempuan di masa-masa ketika bangsa ini hidup dalam bayang-bayang neolib. Konon di masa-masa kolonialisme. Kebodohan dan keterbelakangan melanda seluruh lapisan masyarakat. Tidak terkecuali kaum wanita yang semakin tertinggal tentunya.
Padahal seorang wanita adalah pemegang kendali sebuah peradaban. Hari-harinya ia habiskan bersama para calon pemimpin bangsa kelak. Anak-anaknya membutuhkan didikan darinya, bukan hanya gizi yang cukup tapi. juga ilmu yang bermutu. Namun, bisakah proses pendidikan itu berjalan jika sang Ibu buta aksara. Tak punya akses untuk membaca dan menulis. Serta berbagai ketimpangan lainnya. Maka bagaimana nasib generasi ke depan?.
Kondisi ini pun ditangkap baik oleh para pejuang wanita kala itu. Mulailah kemudian para intelektual (kaum haum) dimasa itu berpikir untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang tengah dihadapi. Sekilas terlihat sepele. Namun dampaknya akan berefek hingga ratusan tahun kedepan bahkan lebih. Maka tercetuslah beberapa konferensi yang berhasil terselenggara dengan visi memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Tentunya kinerja ini tak semudah membalikkan telapak tangan dalam proses realisasinya. Tekanan dari kaum neolib yang tidak pernah menginginkan rakyat ini cerdas menjadi tantangan tersendiri.
Satu hal yang diingat bahwa latar belakang munculnya konferensi itu ialah adanya harapan agar kaum ibu dapat mengenyam pendidkan mendapatkan hak-haknya sebagai seorang insan yang dalam tatanan pencipta ia sejajar dengan pria dalam hal mendapatkan ilmu. Sebab kala itu, kebiasaan yang berkembang kaum prialah yang diberi keleluasaan untuk mengenyam akses pendidikan. Sementara kaum wanita tidaklah semuda itu. Padahal mereka (kaum wanita) juga sebenarnya memegang tanggung jawab yang besar yakni mencerdaskan anak-anaknya, terlebih lagi di masa penjajahan akses untuk menuntut ilmu itu tidaklah mudah. Maka peran ibu sangatlah penting, jika ia tak buta aksara maka ia mampu menjadi guru bagi anak-anaknya. Tapi sayangnya mereka terbelakang dalam perkara itu.
Harusnya estafet ini mesti diteruskan hingga diera kontemporer seperti hari ini. Dimana diera millennial kaum perempuan harus mampu meningkatkan taraf kemampuan akses pengetahuannya baik itu akses ilmu agama serta ilmu kehidupan lainnya (sains dan teknologi). Bukan untuk menyaingi kaum pria bukan juga untuk ikut dalam ajang peningkatan/perbaikan ekonomi rakyat yang pada faktanya hanyalah membuat ia makin jauh dari kodratnya. Namun, hal itu dilakukan agar ia mampu menjadi pendidik terbaik bagi anak-anaknya dan menjadi Isteri yang sholeha bagi suaminya serta menjadi anak yang berbakti pada kedua orangtuanya dan bermanfaat bagi sesamnya.
Sayangnya kini kaum ibu masih hidup dalam lilitan rantai kapitalis yang menggerogori relung jiwa mereka. Kaum Ibu yang dahulunya didaulat sebagai tulung rusak kini menjadi tulang punggung. Ketidakcukupan penghasilan ekonomi keluarga menjadi alasan sehingga ia harus rela mendedikasikan tenaganya untuk meraub rupiah.
Amanah pun tak lagi totalitas dijalankan. Bahkan seluruh tanggung jawab primernya dialihkan kepada pihak kedua, yakni pembantu/asisten rumah tangga dan orang tua (ibu). Padahal tugas itu kelak ia sendiri yang akan bersaksi dihadapan Allah Swt. Idealnya ia sendiri yang harus melaksanakan.
Selain perkara pengasuhan anak. Tanggung jawab untuk merawat orang tua sebagai bukti baktinya pun ia tak mampu jalankan. Sebab apa? Ia sibuk dengan aktivitas karir dan kerjanya. Maka panti jompo menjadi alternatif yang ia pilih sebagai tempat perawatan sang ayah/ibu di masa tuanya. Perhatian dan kasih sayang pun digadaikan dengan uang. Padahal ketika kecil keduanya tak pernah mau ia diasuh oleh pihak lain. Sekalipun hidup dimasa itu amatlah susah.
Namun, begitulah kondisi real di era kapitalis. Fungi ibu pun ikut terkikis oleh kebijakan yang tidak normal dari tatanan kehidupan ini. Akibatnya banyak nasib generasi terlantar dan tak tertatanh dengan baik. Olehnya itu untuk kembali merealisasikan visi dan misi seorang Ibu yang pernah tercetus sekitar puluhan tahun silam ialah bukan dengan sistem kapitalis melainkan dengan tatanan kehidupan secara nyata memuliakan wanita (Islam).
Islam memuliakan wanita dengan tidak mengharuskannya terjun dalam kancah kehidupan secara bebas. Ia pun diamanahi tugas mulia sebagai al umm wa robattul bayt. Sebagai Ibu bagi anak-anaknya, dimana ia bertanggung jawab dalam mendidik dan mengasuh mereka untuk dapat menjadi generasi-generasi yang sholeh dan sholeha. Serta menjadi isteri yang taat kepada suaminya.
Bekerja bagi wanita dalam pandangan Islam adalah mubah. Boleh selama tidak menyalahi tugas utamanya serta diberi izin oleh mahroam (suaminya) serta tidak melanggar hukum syara’ ketika terjun dalam aktivitas muamalahnya, misalnya tidak menampakan aurat, bertabarruj (dandan berlebihan) serta campur baur (ikhtilat).
Wallahu’alam