Oleh : Uqie Naima
Kasus kejahatan dan pelecehan seksual di negeri ini rupanya tidak pernah sepi. Dari hari kehari media cetak dan elektronik seolah tak bosan melaporkan kasus senada. Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus mengerikan dan menggegerkan hanya sebagian kecil yang terungkap. Nun jauh di sana berbagai penderitaan dan cerita miris menimpa masyarakat. Tak peduli dia laki-laki atau perempuan. Tak pandang dia anak-anak atau dewasa. Namun tidak semua memiliki keberanian untuk melapor ke pihak berwajib atau setidaknya menuntut keadilan penguasa negeri ini. Keadaan keluarga, lingkungan, ekonomi dan abainya pemerintah memaksa mereka untuk diam, menelan pil pahit atas nama kecewa, trauma, depresi bahkan tak sedikit harus kehilangan nyawa. Sebut saja kasus yang menimpa Yuyun di tahun 2016 yang lalu. Seorang gadis remaja asal Bengkulu yang meninggal di tempat kejadian sesudah diperkosa beramai-ramai pemuda pengangguran penyuka arak. Beberapa di antara 9 pelaku dibebaskan karena masih dibawah umur. Sementara KS (13) siswi SMP yang tinggal di Desa Sugau, Pancur Batu, Deli Serdang, Sumatera Utara, meregang nyawa, lehernya digorok lalu dibiarkan tergeletak sesudah diperkosa Rudi Guru Singa (30) seorang penarik bentor penikmat video porno. Korban yang ditemukan warga yang melintas akhirnya dibawa ke Puskesmas terdekat, sementara pelaku akhirnya diciduk polisi beberapa hari kemudian (www.merdeka.com, 2/08/2018).
Terbaru dan masih hangat diperbincangkan di tengah-tengah kita, baik di dunia nyata maupun dunia maya sosok seorang wanita bernama Baiq Nuril. Perjalanan kasusnya mengundang tanya tak mengerti. Baiq yang menjadi korban pelecehan Kepala Sekolah di tempatnya bekerja, justru menjadi tersangka. Alasan “mencemarkan nama baik” menjadi bukti terbesar kejaksaan untuk menetapkannya sebagai tersangka. Bukankah ini aneh ? Baiq yang menjadi korban ternyata harus menjadi pesakitan. Kebobrokan moral kepala sekolah yang telah melukainya semakin mengiris pedih manakala harapan mendapat keadilan ternyata di luar ekspektasinya.
Penanganan Kasus Baiq Nuril Ala Kapitalis-Sekular
Ramainya pemberitaan Baiq Nuril mengundang simpati banyak masyarakat. Empati masyarakat dalam bentuk pengumpulan “Koin Untuk Nuril” dan “Tolak Eksekusi Baiq Nuril “ seakan ungkapan pesimistis terhadap penegakan keadilan di negeri ini. Entah malu atau tidak enak hati, pihak Kejaksaan hanya menangguhkan penangkapan Baiq, bukan membebaskannya.
Ramainya kasus Baiq Nuril yang menyedot perhatian, ternyata menarik perhatian orang nomor satu di negeri ini, Jokowi, dengan mengusulkan kepada Baiq Nuril yang terancam pidana 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Jika langkah itu ditolak, silahkan menghadap presiden untuk mendapatkan grasi. Kontan saja, pernyataan Jokowi ini menuai pro kontra di tengah pejabat publik. Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) Fakultas Hukum UI, Dio Ashar menuturkan bahwa yang paling memungkinkan untuk membebaskan Baiq Nuril adalah Amnesti, bukan Grasi. Di tempat berbeda ungkapan senada dilontarkan Fadli Zon, “Orang-orang di belakang Jokowi tidak memberikan pemahaman yang tepat soal Grasi untuk Nuril”. Menanggapi tudingan miring tersebut, pihak Istana melalui jubirnya Johan Budi mengatakan, “saran Grasi yang disebut Jokowi untuk Nuril hanya sebuah gambaran proses hukum” (CNNindonesia, 21/11/2018).
Solusi hukum yang dinyatakan Jokowi terkait Grasi untuk Baiq Nuril, tentu saja akan menuai reaksi dan keheranan publik yang paham aturan per-Undang-undangan Indonesia. Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi mengatur bahwa Grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup dan penjara paling rendah 2 tahun lamanya.
Ketidakpahaman pemerintah menyikapi permasalahan hukum yang menimpa warganya serta terus bermunculannya kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan dan kasus-kasus kriminalitas lainnya yang menimpa perempuan mengindikasikan rezim ini telah gagal memberikan solusi tuntas untuk menegakkan keadilan bahkan telah mencederai keadilan itu sendiri. Keadilan yang diharapkan, diidam-idamkan seakan hanya mimpi. Berharap pemerintah pro-rakyat, ibarat peribahasa ‘ Jauh Panggang Dari Api’. Kekecewaan masyarakat semakin bertambah besar dengan lambatnya penanganan hukum terhadap warga tak berduit.
Aturan Islam Sebagai Solusi Tuntas
Penanganan tindak kriminal semestinya dilakukan dua sisi, preventif dan kuratif. Tanpa upaya pencegahan (preventif), apapun langkah kuratif yang dilakukan, semisal menjatuhkan sanksi yang berat tidak akan pernah efektif. Ancaman kebiri, penjara ataupun hukuman mati yang diterapkan negeri ini tak akan solutif, karena tidak dibarengi upaya pencegahan oleh pemerintah. Tengoklah maraknya wabah free-seks di kalangan pelajar, penyimpangan seksual oleh kaum LGBT, predator anak dengan sodominya, adakah upaya preventif dari pemerintah? Tidak ada. Kasusnya terus berulang, bertambah dan semakin merajalela. Pelakunya tidak jera apalagi takut.
Berbeda dengan Islam. Islam memiliki sejumlah instrumen untuk melakukan tindakan preventif dan kuratif dalam menangani berbagai kasus kejahatan seksual dan kriminalitas lainnya. Bahkan Islam memandang kejahatan seksual dan pelecehan seksual adalah sebuah tindak kriminal yang pelakunya layak mendapatkan hukuman tegas. Syariat Islam telah memberikan solusi atas permasalahan manusia dalam setiap aspek kehidupan. Adapun dalam menangani kasus kejahatan seksual, sistem Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu mencegah (preventif) tindakan tersebut dengan menutup seluruh pintu kemaksiatan. Interaksi antara pria dan wanita dicukupkan pada wilayah muamalah dan tolong menolong saja. Selain itu, Islam melarang keras peredaran khamr (minuman keras), narkoba dan segala hal yang mengarah atau berdampak pada terjadinya kemaksiatan.
Syariat Islam datang sebagai petunjuk bagi manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Fath [48]:28 : “ Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.......”
Permasalahan manusia tidak akan terselesaikan jika aturan yang dipakai masih aturan kapitalis-sekular yang batil. Kasus demi kasus kejahatan dan kemaksiatan senantiasa terjadi. Dengan demikian suatu keniscayaan permasalahan umat manusia terpecahkan dengan solutif manakala telah dicampakkannya sistem batil tersebut. Semua itu tidak akan terwujud tanpa penerapan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh dalam naungan institusi negara Islam, yakni Daulah Khilafah ‘ala Minhajj An-Nubuwwah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.