KABUPATEN BANDUNG MENUJU SMART CITY




Oleh: Ooy Sumini

(Member Akademi Menulis Kreatif3)


Dalam waktu dekat ini, Kabupaten Bandung ditunjuk sebagai salah satu kota/kabupaten di Indonesia yang sedang mengembangkan konsep smart city. Demikian Bupati Bandung H Dadang M. Naser mengatakan pada acara "Ngawangkong bari Ngopi" yang digelar Humas Setda Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung di Taman Uncal, Soreang Kabupaten Bandung, Jumat (2/11/18). Dalam acara tersebut Bupati Bandung membahas Rencana Program Akhir Tahun.

Smart City merupakan wilayah kota yang telah mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tata kelola sehari-hari dengan tujuan untuk mempertinggi efisiensi, memperbaiki pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan warga. Integrasi teknologi dalam tata kelola kota dimungkinkan berkat keberadaan internet of things (IoT) yaitu jaringan perangkat elektronik yang saling terhubung dan mampu mengirim data ataupun melakukan tindak lanjut dengan campur tangan manusia yang minimal.

Konsep smart city dibuat berdasarkan enam pilar: Smart Govermance, smart people, smart living, smart mobility, smart economy dan smart environment. Smart city harus bermanfaat untuk seluruh masyarakat sehingga mereka bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Dengan smart city data disajikan dengan lebih transparan. Selain itu, smart city meningkatkan partisipasi warga seperti membuat data, aplikasi, memberi masukan dan memberi kritikan. Sehingga kota ini menjadi kota yang pintar karena melibatkan warganya, melibatkan pemerintahannya, kekuasaannya, uangnya dan ruangannya untuk menjadikan kehidupan lebih baik.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara berkomitmen mendukung pengembangan smart city di Indonesia. Pemerintah Pusat mencanangkan 100 Smart City yang merupakan program bersama kementerian Komunikasi dan Informatika, kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bappenas dan kantor staf kepresidenan.

Menteri Rudiantara mengatakan smart city adalah sebuah proses yang berkelanjutan: Perbaikan layanan kepada masyarakat yang terus ditingkatkan menjadi sebuah kota/kabupaten itu dikategorikan kota pintar. 100 kota bukan berarti sudah, ini terus on going, karena dinamikanya terus berjalan. Gerakan Menuju 100 Smart City sudah dilaksanakan sejak 2017. Saat itu, gerakan ini dijalankan di 25 kota/kabupaten. Kali ini, gerakan tersebut sudah memasuki tahapan ke-2 menyasar 50 kota hingga sekarang sudah tembus 75 kota/kabupaten.

Rudiantara berharap konsep smart city bisa menjadi solusi dari permasalahan sosial di sekitar masyarakat. Ia mencontohkan kasus penyelesaian masalah banjir. Ia juga menyampaikan pentingnya konsep smart city dalam melayani kebutuhan masyarakat sehari-hari. "Janganlah menerapkan smart city hanya dengan harapan agar dipilih kembali sebagai kepala daerah dalam periode selanjutnya" tutup Rudiantara.

Jadi sementara ini kita belum bisa menilai barhasil atau tidaknya konsep smart city ini. Tapi kekhawatiran program ini jadi jualan politik para calon penguasa daerah sudah ada. Dalam sistem demokrasi sekuler saat ini apapun bisa jadi alat meraih atau mempertahankan kekuasaan. Kasus KTP elektronik misalnya.

Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, kekhawatiran apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empirisnya yang ada. Maka dalam persoalan pelayanan publik pada masyarakat, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:

Pertama, prinsip bahwa konsep pembangunan infrastruktur dan layanan publik di sebuah kota adalah tanggung jawab negara/pemerintah. Bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat aktivitas manusia, tetapi juga karena terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Kedua, prinsip bahwa konsep layanan yang baik akan mengurangi biaya yang dikeluarkan masyarakat. Ketiga, negara membangun infrastruktur dan merencanakan konsep layanan publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Dalam literatur Islam diceritakan ketika Bagdad dibangun sebagai ibukota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan mesjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Coba kita bayangkan dengan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar, itu bukan alasan untuk bisa mewujudkan kota seperi Bagdad.

Dalam masalah pelayanan publik, Daulah Khilafah yang menerapkan syariah Islam sudah memberi contoh lebih dari seabad yang lalu. Apakah kita memang malas belajar?

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak