Oleh.Tety Kurniawati ( Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Belakangan dunia maya heboh dengan viralnya petisi yang menuntut dihentikannya iklan Shopee dengan bintang girlband KPop, Blackpink. Petisi ini diprakarsai oleh salah seorang dosen dari Universitas Padjajaran, Maimon Herawati.
Petisi bertajuk "Hentikan Iklan Blackpink Shopee" tersebut berisi "Sekelompok perempuan dengan baju pas-pasan. Nilai bawah sadar seperti apa yang hendak ditanamkan pada anak-anak dengan iklan seronok dan mengumbar aurat ini? Baju yang dikenakan tidak menutup paha. Gerakan dan ekspresi pun provokatif. Sungguh jauh dari cerminan nilai Pancasila yang beradab".
Menanggapi petisi Maimun. Lewat situs dan surat resminya, KPI merilis peringatan keras kepada 11 stasiun televisi yang menayangkan iklan situs e-commerce tersebut. Stasiun yang dimaksud antara lain Trans TV, RCTI, RTV, MNC TV, Indosiar, TV One, ANTV, Trans7, GTV, Net, dan SCTV.
KPI berdalih bahwa iklan tersebut berpotensi melanggar Pasal 9 Ayat (1) SPS KPI Tahun 2012 tentang kewajiban program siaran memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak terkait budaya. ( idntimes.come 11/12/18)
Perkembangan teknologi yang begitu pesat. Secara signifikan telah memberi dampak luar biasa terhadap perkembangan dunia komunikasi dan perekonomian. Wajar jika kemudian keberadaan ekonomi digital jadi kebutuhan tak terelakkan bagi generasi milenial.
Konsekuensinya iklan sebagai ujung tombak ekonomi digital tak lagi terbatas sebagai penyampai informasi produk. Tapi juga menjadi media komunikasi vital antar pelaku ekonomi. Ironisnya, liberalisme-kapitalisme yang menjadi buah penerapan demokrasi. Telah menciptakan rezim sekuler yang hanya berorientasi pada materi dan besaran keuntungan. Alhasil nilai ekonomis senantiasa jadi penentu layak tidaknya sebuah iklan ditayangkan. Tak peduli jika harus menyingkirkan norma, nilai kepatutan, bahkan aturan dari sang penguasa kehidupan.
Generasi muda pun rentan menjadi korban. Terpapar virus iklan tak layak tonton yang justru jadi tuntunan. Menularkan budaya serba permisif, lifestyle hedonis dan mencabut jatidiri generasi sebagai pengukir peradaban. Pornografi dan pornoaksi pun tumbuh bak jamur dimusim penghujan. Kala para kapitalis lebih peduli dengan bagaimana iklannya disukai, bernilai jual dan viral dibanding besarnya kerusakan generasi yang ditimbulkan.
Bertolak belakang dengan hal tersebut. Media dan periklanan dalam Islam memiliki tanggung jawab besar dalam mencabut nilai-nilai sekuler sekaligus mempropagandakan nilai-nilai keislaman. Lewat penanaman tsaqofah Islam dan aqidah yang kuat. Pemberlakuan sensor yang ketat terhadap muatan iklan. Hingga antisipasi dampak negatif yang mungkin timbul atas suatu iklan. Jadi prioritas utama dalam upaya perlindungan generasi.
Celah bagi tersebarnya pornografi dan pornoaksi ditutup sedemikian rupa. Negara lewat sistem pendidikannya akan memastikan bahwa tiap individu generasi memiliki lifestyle yang sesuai syariah. Tiap pelanggaran terhadapnya dianggap sebagai tindak kriminal. Maka harus diganjar dengan hukuman setimpal. Memberi efak jera dan memastikan kemaksiatan yang sama tak terulang dimasa depan.
Sudah saatnya demokrasi yang terbukti rusak dan merusak ditinggalkan. Untuk kemudian beralih pada aturan Islam. Aturan yang kala diterapkan dalam setiap aspek kehidupan terbukti mampu memproduksi banyak generasi hebat sepanjang zaman. Pengukir peradaban yang gemilang. Wallahu a'lam bish showab.