Oleh : Etti Budiyanti
Member Akademi Menulis Kreatif dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengapresiasi penghargaan yang diberikan Setara Institute kepada 10 kota di Indonesia dengan nilai toleransi tertinggi.
Kajian Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 untuk mengukur promosi dan praktek toleransi yang dilakukan oleh pemerintah kota.
Tjahjo mengungkapkan, penghargaan tersebut dapat membuat kepala daerah menyadari warganya yang beragam. Oleh karena warganya itu, mereka kini dapat menduduki posisi penting di daerah tersebut.
&Kami apresiasi Setara yang sudah berkomunikasi dengan Kemendagri 3 tahun lalu, punya ide ini sehingga menambah wawasan kepada Kepala Daerah, ya terpilih menjadi kepala daerah bukan karena suku dan agama, tapi karena dipilih masyarakat di daerah itu yang beragam,&ujarnya seusai acara di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jum'at(3|12|2018).
Selain itu pesan penting lainnya yang dipetik Tjahjo adalah soal sudut pandang dalam menilai seseorang.
&Jangan dilihat seseorang dari sisi agama, suku, etnis tapi dari prestasi, loyalitas, kesetaraan yang ada,& ungkapnya
Pada penelitian ini, terdapat empat variabel yang diukur, yaitu regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial dan demografi agama.
Variabel regulasi pemerintah kota terdiri dari dua indikator yaitu rencana pembangunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan kebijakan diskrminatif.
Tetapi faktanya dirilisnya Indeks Kota Toleran (IKT) ini memercik kontroversi. Ada yang menilai hasil studi itu sepihak danmempertanyakan keabsahannya.
Sejatinya, membahas toleransi itu tergantung pada ideologi yang diembannya. Ideologi kapitalisme sangat bertentangan dalam menilai toleransi menurut Islam.
Toleransi dalam pandangan Sekulerisme atau Kapitalisme
Barat sebagai representasi dari ideologi Sekulerisme, tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam.
Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan intoleran atau radikal.
Barat berupaya menstigmasi Islam sebagai ajaran radikal. Pasalnya, Islam tidak mengakui kebenaran agama lain, dan Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Karena keyakinan kebenaran Islam itu berasal dari Al-Qur'an. Barat kemudian menuduh kitab suci umat Islam sebagai sumber radikalisme.
Karena itu mereka lalu mereduksikan ajaran Islam dengan timbangan tafsir hermeneutika. Tafsir ini berasas demokrasi, hak asasi manusia dan sekularisme. Dengan asas ini, para agen Barat, seperti Muslim liberal dan moderat, kemudian mendekonstruksi makna toleransi sebagai paham pluralisme teologis.
Barat sebetulnya bersikap inkonsistensi terhadap makna toleransi yang mereka bangun. Jika konsisten dengan makna toleransi, semestinya umat Islam yang melaksanakan ajaran Islam juga harus dihormati. Faktanya, Muslimah yang menggunakan kerudung dan atau cadar sebagai hak setiap muslimah justru dikatakan sebagai bentuk intoleran juga.
Lebih ironis, saat Barat menciderai makna toleransi justru tidak dianggap intoleran. Semisal lomba kartun Rasulullah saw yang telah menyakiti hati umat Islam seluruh dunia karena perbuatan itu diharamkan Islam. Hal demikian tidak dianggap sebagai perbuatan intoleran bahkan dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Peristiwa pembakaran masjid tidak dianggap sebagai perbuatan intoleran. Sebaliknya jika umat non Muslim diganggu sedikit saja maka tindakan demikian akan segera distigmatisasi sebagai bentuk intoleransi dan radikal.
Bahkan akhir-akhir ini , saat terjadi pembakaran panji tauhid, pelakunya tidak dianggap intoleran.
Tanpa disadari, atas nama toleransi, umat Islam banyak yang terjebak pada racun akidah ini dengan mencampuradukkan kebatilan dan kebenaran. Islam memang menghargai pluralitas, namun tidak mengakui pluralisme.
Toleransi Dalam Pandangan Islam
Sejak masa Nabi saw dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas dan toleransi. Islam mengatur keragaman dan perbedaan secara sempurna. Islam menjelaskan hukum dan etika untuk memecahkan persoalan-persoalan yang lahir dari keduanya.
Di dalam lintasan sejarahnya yang panjang, kaum muslim telah membuktikan keunggulan syariah islam dalam menyelesaikan problem keragaman dan perbedaan serta problem ikutannya. Dalam prakteknya kaum muslim tidak memaksa orang kafir masuk islam (QS. 2:256). Orang kafir dibiarkan menjalankan peribadahan sesuai agama dan keyakinan mereka. Kaum Muslim juga dilarang mencela sesembahan agama lain tanpa dasar ilmu (QS. 6:108). Islam memerintahkan kaum Muslim berdiskusi dengan orang-orang kafir dengan cara yang ma'ruf (QS. 29:46). Kaum Muslim juga diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang telah ditetapkan Islam.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, kaum Muslim tidak pernah memiliki problem toleransi. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Mereka memiliki tradisi toleransi yang tinggi. Mereka biasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agam dengan santun, adil dan manusiawi.
Praktik Toleransi Pada Masa Nabi SAW dan Khulafaur Rosyidin
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyah meluas ke Jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama dan harta penduduk Ailah, Jarba', Adzrah dan Maqna yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Nabi saw juga memberikan perlindungan atas harta, jiwa dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi.
Beliau, juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dhamrah, Asyja', Najran, Muzainah, Aslam, Juza'ah, Jidzam, Qadla'ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, Ri'asy dan masih banyak lagi.
Praktik ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw toleran terhadap orang-orang kafir dan tidak memperlakukan mereka semena-mena.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi umat saat ini. Di Indonesia yang mayoritas umat Islam, misalnya, umat Islam justru sering dipinggirkan. Mereka sering dipojokkan. Mereka terus menerus diintimidasi bahkan dipersekusi. jilbab dipermasahkan. Adzan dianggap bising. Bendera Tauhid dituduh simbol ormas radikal. yang menyuarakan syariah dianggap intoleran. Dakwah Khilafah Ajaran Islam dianggap pemecah persatuan.Perda Syariah dituding mengancam keragaman.
Padahal sejatinya sikap itulah cermin sikap intoleran. Telunjuk intoleransi berusaha diarahkan pada Umat Islam. Padahal jelas, umat Islam sepanjang sejarah sangat toleran.
Wallahu A'lam Bish Showwab.