Oleh Ainul Mufidah
Peringatan hari Aids sedunia seolah membuka borok bagi kota Cirebon. Bagaimana tidak, kita dikejutkan dengan data KPA yang membeberkan fakta terkait meningkatnya penderita HIV AIDS di kota dengan gelar kota wali. Tercatat di Kabupaten Cirebon sudah 222 jiwa yang mengidap HIV/AIDS periode Januari-Oktober 2018. Sedangkan di Kota Cirebon, ditemukan 58 kasus pengidap HIV/AIDS. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon Sri Maryati mengatakan, total ada 984 kasus HIV/AIDS yang berhasil didata oleh KPA Kota Cirebon. Sedangkan 58 dari temuan kasus itu, 62 persennya merupakan remaja.
(news.okezone.com/read/2018/12/03)
Nyatanya gelar daerah tak cukup untuk bisa menghindarkan warganya terhindar dari ancaman penyakit yang sering dikaitkan dengan moralitas. Memang benar, tidak semua orang dengan HIV Aids adalah mereka yang rendah moralitasnya, namun resiko penularan khususnya di Kota Cirebon lebih banyak didominasi akibat hubungan seksual, baik berlainan jenis maupun sesama jenis. Namun, hubungan seks sesama jenis, antara laki-laki dengan laki-laki menjadi salah satu penyumbang terbesar penularan HIV di Kota Cirebon. (https://merahputih.com/post/read/23/3/2017)
Upaya penanggulangan penularan yang dilakukan pemerintah belum menunjukkan komitmen yang kuat, dengan alasan anggaran yang tidak mencukupi dan belum menyentuh akar permasalahan. sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan bantuan luar negeri yang mencakup 57 persen dari total anggaran penanggulangan HIV/AIDS. Selama ini kebutuhan anggaran yang bersumber dari luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris, badan-badan PBB, dan organisasi-organisasi non pemerintah internasional. (https://www.dw.com/id/mic/30/11/2018)
Sebenarnya pemerintah tidak sendirian, banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, akan tetapi nasib mereka tak jauh beda. Banyak yang gulung tikar atau setidaknya kesulitan beroperasi, karena mereka sudah tak lagi memiliki dana yang cukup untuk melakukan kegiatan.
Hal tersebut diatasi menunjukkan beragam upaya telah dilakukan oleh pihak yang diberikan kewenangan menangani masalah ini, dengan harapan bisa mengurangi jumlah penderita atau minimal stagnan. Namun justru jumlah penderita dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, bahkan menularkan pada wanita baik-baik yang berhubungan hanya dengan suaminya saja juga pada bayi-bayi yang tak berdosa. Lalu apa yang salah dari kebijakan penanganan epidemi HIV/AIDS selama ini?
Sebagaimana diketahui bahwa virus HIV AIDS bermula dari cara hidup yang rusak, sex bebas. Islam sebagai sebuah sistem hidup, menyodorkan dua upaya untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pertama, upaya preventif menjauhkan umat dari budaya sex bebas, penyalahgunaan narkotika dan obat terlaran dan juga berbagai sarana yang memicu dan memfasilitasi prilaku tersebut. Upaya ini sangat penting, dikarenakan hal ini sebagai media penularan yang utama.
Hal tersebut nampak dalam sistem pendidikan Islam yang akan membentuk manusia yang berkepribadian Islam. Ketakwaan individu menjadi hal utama yang akan dibangun. Sistem pergaulan yang meminimalisir interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya dalam hal2 yang diperbolehkan oleh hukum syara'. Sistem ekonomi, yang menjamin tercukupinya kebutuhan pokok masyarakat, sehingga dapat menjauhkan masyarakat dari prilaku nekat yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Yang Kedua, upaya kuratif, yaitu upaya pengobatan terhadap para pengidap hiv aids. Dalam pengobatannya memegang prinsip hukum syara', seperti menggunakan bahan-bahan yang halal dan tidak membayakan. Negara juga memfasilitasi dan mendorong penderita untuk lebih dekat dengan Allah. Jika ia, penderita karena prilakunya yang buruk maka bertaubat adalah hal yang akan diperintahkan, namun apabila ia adalah penderita akibat prilaku orang lain maka ia akan diperintahkan untuk bersabar dengan ujian yang menimpanya.
Upaya lain adalah dengan mengisolasi penderita ditempat atau rumah sakit khusus dengan tetap memberikan mereka hak sebagai warga negara serta mencukupi segala kebutuhannya. Namun akan ada pembatasan interaksi dengan orang yang sehat atau melalui pengawasan negara.
Memang benar, kedua hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki dan pengelolaan yang tepat sesuai hukum syara' maka, hal tersebut bukanlah hal yang sulit untuk terpenuhi. Persoalanannya sekarang adalah pemerintah mau atau tidak mengambil solusi yang ditawarkan oleh Islam, atau tetap memilih sistem kapitalis yang terus menganakpinakkan segala problematika umat manusia dan seolah angkat tangan dengan membiarkan warganya menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Wallahu a'lam