Dwi Praja Nugraha, Ironi Penghargaan Dibalik Tuntutan Guru

Oleh: Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd


Puncak peringatan hari Guru Nasional dan HUT ke -73 PGRI tahun 2018, di Stadion Pakansari Cibinong Bogor, Jawa Barat, Sabtu (01/12), memberi kado istimewa bagi pemerintah dan dunia pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan.


Disaksikan sedikitnya 50 ribu perwakilan guru se-Indonesia, Gubernur Kalimantan Selatan menerima secara langsung piagam penghargaan Dwija Praja Nugraha yang langsung diserahkan Presiden Republik Indonesia (https://telusur.co.id/2018/12/02/puncak-hari-guru-nasional-gubernur-kalsel-menerima-penghargaan-dwija-praja-nugraha/).


Penghargaan yang diterima oleh kepala daerah, ternyata tidak sesuai dengan keadaan. Persoalan guru honorer mulai SD, SLTP dan SMU yang jumlahnya kurang lebih 6 ribu guru di Kalsel yang belum diangkat menjadi PNS, menjadi topik bahasan konferensi PGRI se-Kalsel yang digelar di Banjarmasin. Pihaknya sudah melakukan pemetaan guru honorer yang masa kerjanya sudah 10-20 tahun dan 5-10 tahun, tapi belum diangkat sebagai PNS. Ia pernah menyampaikan persoalan guru honorer ini ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel untuk lekas diproses jika ada peluang pengangkatan menjadi PNS.


Kekurangan guru SD, yang mesti jadi perhatian pemerintah pusat karena guru SD bukan soal mata pelajaran saja. Sebab di SD, jumlah guru minimal sesuai 6 kelas dan kebutuhan aktivitas belajar (https://kumparan.com/banjarhits/6-000-an-guru-kontrak-di-kalsel-menunggu-kepastian-status-pns).


Dari pernyataan yang sudah diutarakan diatas tadi itu adalah masalah yang masih belum terselesaikan oleh pemerintah. Sering mendapatkan pernyataan bahwa Pemerintah tidak hanya memberi tanggungjawab kepada masalah guru saja. Pernyataan seperti itu seharusnya tidak perlu dibahas. Untuk apa jadi orang di pemerintahan kalau semuanya juga tidak bisa diatasai dengan maksimal. Rakyat memilih mereka dipemerintahan adalah menginginkan semuanya bisa teratasi semua permasalahan yang ada terutama kesejahteraan guru saat ini. 


Ada yang sudah tua renta masih berstatus honorer. Begitu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh guru-guru di Indonesia ini. Karena keidealisannya seorang guru, masih ada yang rela berjalan di jalan yang terjal dan menyeberang sungai pada subuh hari. Miris sekali. 


Fakta-fakta yang terjadi menunjukkan aturan yang dibuat oleh manusia tidak memberikan sepenuhnya keadailan pada guru-guru disebut ‘tanpa tanda jasa’. 


Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab RA menjadi seorang guru sangatlah dihargai. Guru yang memberikan ilmu kepada murid dan memberikan pelajaran yang diajarkan sesuai fakta dan tidak luput dengan terus menanamkan aqidah islam kepada muridnya. Tidak salah ketika gaji guru pada saat islam Berjaya itu mendapatkan 15 Dinar atau setara dengan Rp 33.870.000,00 per bulannya.  


Dana tersebut bukan hasil dari berhutang ke negara lain, namun itu hasil dari Sumber Daya Alam yang dikelola oleh negara sendiri, ghanimah (harta rampasan perang), fa’i, kharaj, dan lain-lain. 


Dalam Islam, penguasa wajib mengayomi semua rakyatnya. Termasuk, kesejahteraan para guru menjadi perhatiannya. Selama semua terpenuhi kebutuhannya, tanpa penghargaan pun tidak mengapa. Karena kewajiban pemenuhan rakyatnya menjadi tanggungjawab para penguasa kepada Allah. Bukan sekedar kepada atasan semata.


Negara harus lebih menekankan keperdulian kepada rakyatnya, apalagi kepada guru yang memberikan ilmu tak terhingga kepada murid-murid. Penghargaan yang seharusnya ialah ketika seluruh guru diberikan kesejahteraan dalam materi, sarana dan prasarana, pembinaan dan tak ketinggalan juga yaitu ketaqwaan dia pada Allah SWT. 


Semua itu tidak akan terwujud ketika negaranya juga bertaqwa kepada Allah dan Rasul. Yang seharusnya menomorsatukan kebutuhan rakyatnya bukan malah terus menerus menggenjot energi guru dengan maksimal namun memberi upah yang murah.[]


*)Mahasiswi Magister Manajemen Pendidikan, Pemerhati Masalah Pendidikan dan Generasi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak