Dibalik Penindasan Muslim Uyghur


Oleh : Mardhiyatuzakiyah



Tidakkah kau berduka melihat ummat ini? terus dipijak dan dihentak terpedaya dengan musuh. Sebait lirik dari grup nasyid The Faith asal negeri jiran, Malaysia ini sederhana namun sarat makna. Pasalnya, dewasa ini umat Muslim yang minoritas di negara asalnya acap kali dijadikan objek persekusi dan diskriminasi oleh musuh-musuh Islam. Sebut saja, Muslim Palestina, Suriah, Afganistan, etnis Muslim Rohingya di Myanmar, termasuk Muslim Uyghur di Cina.


Penindasan Muslim Uyghur yang mengarah pada genosida sebenarnya bermula beberapa tahun lalu dan mulai memanas akhir-akhir ini. Sejak April 2017, pemerintah Cina sudah menangkap kurang lebih 800 ribu hingga dua juta masyarakat Uyghur ke dalam barak yang mereka sebut “kamp re-edukasi”. Meski pada awalnya pemerintah Cina membantah adanya kamp tersebut, namun kini mereka melegalisasinya dan mengatakan kamp tersebut sebagai pusat pelatihan untuk “melawan ekstrimisme”. (Republika.co.id, 13/12/18).


Kamp pusat re-edukasi ini memaksa Muslim Uyghur menjalani agenda doktrinasi seperti memaksa mereka meninggalkan agama Islam, mempelajari paham komunisme, memberikan salam penghormatan pada bendera komunis,  melakukan pemindaian mata dengan gambar Presiden Cina Xi Jinping agar ketika mereka melihat ke berbagai sudut yang ada hanya pantulan wajah tersebut. Selain itu pemerintah Cina juga melarang penggunaan hijab bagi wanita dan menumbuhkan jenggot bagi pria. Mereka melakukan pemeriksaan tubuh dan wajah melalui cctv, melarang ummat muslim untuk berpuasa, melakukan pembatasan ibadah haji, dan melarang penamaan bayi yang baru lahir dengan nama-nama Islam. (Cordova video)


Bak mudah membuat pembenaran, Pemerintah Cina bersikeras menyatakan bahwa kamp tersebut merupakan pusat pelatihan. Mereka juga berpendapat memasukkan Muslim Uyghur ke dalam kamp adalah upaya untuk menangkal terorisme, seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Cina, Lu Kang pada bulan Nopember lalu yang dilansir melalui Vox, “Ini melindungi hak asasi manusia lebih besar lagi, juga menyelamatkan orang-orang, ini salah satu kontribusi penting yang Cina lakukan untuk melawan terorisme global”.


Adanya penderitaan yang menimpa saudara Muslim di Xinjiang memicu ghirah Muslim Indonesia untuk menggelar aksi solidaritas pada jumat, 21 Desember lalu di depan Kedutaan besar Cina. Mereka mengecam keras tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pemerintah Cina terhadap Muslim Uyghur dan menuntut Presiden Indonesia untuk segera mengambil sikap tegas dan kongkrit untuk krisis kemanusiaan yang tengah dialami ini. 


Jika ditelusuri lebih lanjut, pemerintah Indonesia diduga memiliki kedekatan yang sangat erat dengan Cina. Hal ini terbukti dengan mudahnya akses utang luar negeri Indonesia kepada Cina yang terhitung tak sedikit. Hubungan bilateral ini, memungkinkan adanya kekhawatiran Presiden untuk menyuarakan protes atas kasus dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. Terlebih yang diketahui selama ini Cina lebih banyak “mendonasikan” uang kepada Indonesia dan membuat pemerintah Indonesia tidak memiliki cukup pengaruh untuk mengintervensi hubungan negara mereka. 


Bahkan Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem) Syafti Hidayat menduga kuat kedekatan yang telah dijalin pemerintah dengan Cina tidak mungkin terganggu hanya untuk mendeklarasikan kecaman atas penganiayaan kelompok Muslim Uyghur. Seharusnya kerja sama ekonomi yang sedang dijalin Indonesia tidak bisa dijadikan alasan untuk tetap diam atas permasalahan ini. Apalagi politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang sepatutnya tak boleh ada pendiktean dari negara manapun temasuk Cina. 


Di sisi lain, Indonesia yang dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia sudah sepantasnya mengambil peran dalam menolong saudara seiman. Tak bisa hanya dengan bersikap netral atau pasif saja. Karena ada hadist yang menggambarkan persatuan ummat Muslim :


مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ  فِيْ تَرَاحُمِهِمْ  وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

(رواه البخاري ومسلم)


“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal yang saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R Bukhari dan Muslim).


Faktanya batas nasionalisme dan konsep negara yang terinstal dalam pikiran masyarakat Muslim termasuk Indonesia telah mengikat ummat Muslim dunia untuk membantu saudaranya dengan bantuan yang nyata. Hingga kita lihat saat ini mereka hanya bisa mengecam tanpa melakukan bantuan untuk melerai penindasan. Hanya di bawah pemikiran dan peraturan Islam sajalah harta, darah, dan nyawa kaum Muslim terlindungi bersamaan dengan kepemimpinan seorang Khalifah yang menjadi perisai ummat kapanpun dan di manapun berada. Wallahu 'alam


Mardhiyatuzakiyah (Mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak