Oleh: Lilieh Solihah (Anggota Revowriter)
Tren kenaikan harga pangan menjelang akhir tahun ataupun hari hari besar lainnya seperti sudah menjadi kebiasaan. Menurut Eko Listianto selaku Wakil Direktur Indef, menyebutkan ada beberapa komponen yang menyebabkan kenaikan harga pangan di akhir tahun. Pertama, ancaman inflasi yang kemungkinan terjadi di akhir tahun. Inflasi harga yang diatur pemerintah dan inflasi bergejolak yang kerap menjadi pemicu lonjakan inflasi di Indonesia (sumber:kontan.co.id).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras mengalami kenaikan antara 1,3 sampai 2,5% pada November 2018, baik beras kualitas premium, medium maupun rendah.
Meroketnya harga pangan bukan kali pertama ini terjadi dan malah seolah sudah menjadi tradisi. Pemicunya biasanya adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Dalam menyikapi hal ini seharusnya pemerintah lebih jeli dalam menanganinya, dan akibat kenaikan ini juga sudah dipastikan imbasnya ke masyarakat, khususnya kalangan menengah kebawah serta para petani.
Beras misalnya, komoditi pangan paling penting di Indonesia ini mudah bergejolak. Padahal, harga beras sangat berdampak bagi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Dengan berbagai kenaikan harga, maka sudah pasti bertambah juga pengeluaran masyarakat untuk mendapatkannya. Apalagi, dengan tingkat yang tinggi malah semakin menurunkan kemampuan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan miskin untuk hidup layak.
Kebutuhan pangan adalah kebutuhan pokok bagi masyarakat di negeri ini. Seharusnya negara bisa menjamin kestabilan harga untuk rakyat. Kenaikan harga pangan dengan alasan akhir tahun secara berulang, seharusnya sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Terbukti negara di rezim sekarang ini gagal menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dengan harga terjangkau.
Islam mengharamkan negara untuk mematok harga. Harga dalam Islam dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supplay and demand. Ketika zaman Nabi saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar harga-harga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau. Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas). Dengan begitu, Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme supplay and demand di pasar.
Ketika Nabi mengembalikan kepada mekanisme pasar, bukan berarti negara kemudian sama sekali tidak melakukan intervensi. Tentu tidak. Hanya saja, tentu intervensinya bukan dengan mematok harga, namun dengan cara lain. Cara, yang tidak merusak persaingan di pasar.
kebijakan negara Khilafah untuk mengendalikan stabilitas harga dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, yaitu: Menjaga supplay and demand di pasar agar tetap seimbang. Bukan dengan mematok harga barang dan jasa. Jika supplay barang dan jasa berkurang, maka yang mengakibatkan harga dan upah naik, karena demand-nya besar, maka ketersediaan barang dan jasa tersebut bisa diseimbangkan kembali oleh negara dengan menyuplai barang dan jasa dari wilayah lain.
Selain itu, jika berkurangnya supplay barang karena penimbunan, maka negara bisa menjatuhi sanksi ta’zir, sekaligus kewajiban melepaskan barang pemiliknya ke pasar. Jika kenaikan harga tersebut terjadi karena penipuan, maka negara bisa menjatuhi sanksi ta’zir, sekaligus hak khiyar, antara membatalkan atau melanjutkan akad. Jika kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, maka negara juga berkewajiban untuk menjaga mata uangnya, dengan standar emas dan perak. Termasuk tidak menambah jumlahnya, sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.
Wallahua'lam bish-shawab.