Oleh: Rahmi, S.Si (Penulis, Pemerhati Media)
Menarik jika mencermati polemik di balik radikalisme. Pasalnya, bahasan ini selalu dikaitkan dengan Islam dan atributnya. Julukan semacam ustadz 'radikal', ormas 'radikal' bahkan maaf, masjid 'radikal' sengaja dimunculkan karena dianggap menjadi biang atas tersebarnya paham radikalisme.
Survey yang dilakukan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terhadap 100 masjid di lingkungan pemerintah DKI Jakarta, seolah membenarkan tuduhan ini. Dari 100 masjid yang disurvey, 41 diantaranya terindikasi radikal. Pembagiannya, 17 masjid terpapar radikalisme dengan intensitas tinggi, 17 sedang dan sisanya terpapar radikalisme dengan intensitas rendah. kategorisasi ini diungkapkan Kasubdit Direktorat 83 BIN, Arief Tugiman.
Sementara itu Juru bicara Kepala BIN, Wawan Hari Purwanto mengungkapkan, kategorisasi ini berdasarkan konten yang dipaparkan penceramah. Ini diungkapkannya lewat konferensi pers di Restauran Sate Pancoran Jaksel hari Selasa (20/11). Ia juga mengklarifikasi soal penekanan istilah masjid 'radikal' yang sebetulnya lebih condong kepada aspek konten yang disampaikan penceramah di masjid.
Wawan menilai, 17 masjid yang berada pada area zona merah alias terpapar radikalisme dengan intensitas tinggi, wajib diwaspadai. Keberadaannya dinilai meresahkan karena menyimpang dari falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, ia mengungkapkan bahwa masjid yang berada pada zona merah tersebut menunjukkan simpati kepada ISIS dengan mengutip ayat tentang perang. Ia menilai, inilah yang membawa nuansa konflik Timur Tengah ke Indonesia.
Koreksi di balik penyematan gelar 'radikal'
Mengacu kepada kamus daring KBBI, definisi radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Sedang radikalisme berarti paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; atau sikap ekstrem dalam aliran politik.
Kembali pada polemik penyematan julukan radikal di atas, lantas adakah standar baku untuk menetapkan apakah suatu ceramah tergolong radikal atau tidak? Atau tiba-tiba saja ceramah yang disampaikan langsung dicap radikal karena mencela sikap nasionalisme yang berlebihan? Apakah pasti penceramah yang mengutip ayat tentang perang langsung berafiliasi kepada ISIS? Jika ini yang menjadi tolak ukur, tentu penilaian yang digunakan terlalu subjektif dan jauh dari nuansa tabayyun.
Jika penilaian radikal atau tidaknya seseorang tergantung pada hal ini, baiknya perlu peninjauan ulang. Sebab, bukankah sepantasnya julukan radikal disematkan kepada kelompok separatis bersenjata yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Atau, mereka yang menggadaikan aset rakyat dan menyerahkan pengelolaannya kepada asing. Tentu, merekalah yang lebih layak disebut radikal.
Berangkat dari definisi radikal, sudah barang tentu tak ada yang salah dengan menjadi radikal. Malah, setiap orang harus menjadi radikal agar lebih mampu memaknai kehidupan. Menjadi radikal, berarti memilih tegak di atas prinsip dan keyakinan yang kuat dan mengakar serta tak mudah tergoyahkan. Tentu sebagai muslim, penanaman prinsip ini haruslah disandarkan pada Islam.
Kurang elok rasanya jika menganggap mereka yang berdakwah nahi mungkar sebagai pemecah belah NKRI. Siapapun orangnya, mereka berhak melakukan nahi mungkar dengan mengoreksi kebijakan penguasa. Tanggungjawab ini tentunya berangkat dari sebuah kesadaran penuh. Respon pemerintah harus terbuka dan menerima dengan tangan dingin. Bukan malah mengedepankan ego dan prasangka.
Menganggap dakwah hanya berisikan ajakan beramar makruf namun melewatkan nahi mungkar adalah logika cacat. Tak ada yang berhak melarang seseorang mendakwahkan ayat-ayat perang. Selagi hal ini dimaksudkan untuk penyadaran dan bukan untuk provokasi. Pun dengan dakwah kembali kepada sistem Islam sebagai antitesis nasionalisme yang akan menghancurkan sekat pembatas antar bangsa.
Jangan sampai, penyebutan radikal itu berasal dari hawa nafsu kebencian. Sebab, jika hati sudah terlanjur benci, orang memberi madu pun disangka racun. Orang mendakwahkan islam politik dengan membawakan dalil dari Alquran, dikira makar dan dituding ingin merebut kekuasaan.
Padahal dalam Islam, politik atau as-siyasi berarti mengurus atau memelihara ketertiban dan kemaslahatan manusia berdasarkan syariat Islam. Menurut Imam al-Mawardi, pengarang buku "Al-Ahkam as-Sulthaniyyah”, ruang lingkup fikih siyasi mencakup lima bagian yakni politik perundang-undangan, moneter, peradilan, peperangan dan administrasi.
Maka, sah-sah saja jika seseorang bersikap radikal dengan menawarkan islam sebagai solusi kehidupan bernegara sebagai pengganti kapitalisme-demokrasi yang sarat intrik dan kepentingan. Yang salah adalah ketika seseorang membela paham radikalisme. Menuntut perubahan dengan jalan mensahkan tindak kekerasan, teror dan pengeboman.
Perlu digarisbawahi, selama belum ada negara yang berasaskan Islam, jelas bahwa dakwah dibatasi pada aspek pemikiran. Rakyat sekaligus penguasa disadarkan akan kedudukannya sebagai hamba Allah sehingga tidak etis jika membuat aturan sendiri dan mengenyampingkan pedoman dari Allah di dalam Alquran dan as-Sunnah. Sehingga jika sudah terbentuk kesadaran ini, pada akhirnya rakyat sendiri yang dengan sukarela meminta diatur dengan hukum Islam.
Oleh karenanya, mari kita sudahi pertengkaran penggunaan istilah ini. Sudah sepatutnya dengan bertambahnya usia, menjadikan kita lebih dewasa dan lebih mendekat ke masjid. Bukan, bukan untuk mengevaluasi konten ceramah para ustadz. Melainkan untuk duduk merendah sembari menyesali kesombongan kita yang tak kunjung mau taat di hadapan Allah dengan menerima secara total syariat-Nya. Syukur-syukur, akhirnya kita menjadi muslim yang radikal (ramah, terdidik dan berakal) betulan karena mengandalkan prinsip Islam dalam pikir, tindak dan rasa.
Wallahu a'lam