Oleh: Yuliana Azizah*
Bagaimana respon anda jika melihat aksi seseorang yang menginjak Alquran? Pastilah sangat syok dengan kemarahan yang membuncah. Bagaimana tidak marah, yang diinjak bukanlah sekedar kertas biasa tapi dia adalah kitab yang bertuliskan lafadz -lafadz dari perkataan Allah (kalamullah) Sang Pencipta manusia.
Rasanya tidak percaya aksi menginjak Alquran ini terjadi di wilayah yang dikenal masyarakatnya religius. Dan tidak hanya itu, ppelaku juga melakukan penghinaan terhadap ulama dengan kata-kata bernada provokatif. Tanpa rasa bersalah pelaku yang merupakan seorang pemuda berinisial MS (21thn) ini mengunggah foto aksi nekatnya tersebut di akun instagramnya. (kalsel prokal.co, 31/10/2018)
Hal yang lebih mengejutkan lagi ternyata aksi injak Alquran di wilayah Kalimantan Selatan ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Jika kita memasukkan kata kunci "injak alquran" dimesin pencarian digital akan banyak bermunculan berita terkait aksi injak Alquran tersebut di berbagai daerah. Untuk di Kalsel sendiri belum lama ini telah dijatuhkan sanksi terhadap pelaku penistaan terhadap Alquran. Dan berulangnya kasus penistaan terhadap alquran ini menunjukkan ada "something wrong" yang terjadi di negri ini.
Kesalahan Individu dan Sistem
"Something Wrong " (sesuatu yang salah) ini sebenarnya buah dari penerapan ideologi sekuler. Yang pada akhirnya mengakibatkan kesalahan pada Individu dan sistem.
Pada level individu, menurut Syaikh Muhammad bin Said al-Qahthani, setidaknya ada enam faktor seseorang terjerumus melakukan pelecehan/ penistaan terhadap agama. Pertama, benci dan dengki terhadap kandungan nilai-nilai agama. Kedua, celaan atau balas dendam terhadap pelaku kebaikan. Ketiga, bercanda yang berlebihan dan ingin menertawakan orang lain. Keempat, sombong dan merendahkan orang lain. Kelima, taklid buta terhadap musuh-musuh Allah SWT. Keenam, cinta harta yang berlebihan sehingga dia akan mencarinya dengan cara apapun. (Al-Qahthani, Al-Istihzâ’ bi ad-dîn wa Ahluhu)
Selain keenam latar belakang individual itu, maraknya penistaan terhadap Alquran dan simbol-simbol Islam lainnya juga banyak dipengaruhi oleh faktor sistem. Pada level ini, dari rekam jejak pemberlakukan sistem hukum yang diterapkan di negri ini. Terlihat sanksi yang diberlakukan tidak memiliki ketegasan. Sanksi hukum tidak membuat jera pelaku penistaan/ pelecehan sekaligus gagal mencegah pihak lain untuk melakukan hal yang sama.
Akibatnya, tak sedikit kasus pelecehan ini menguap begitu saja. Seperti kasus yang terjadi saat ini di Banua , dimana pelaku aksi injak Alquran hanya dikenakan pasal yang terkait pelanggaran terhadap UU ITE .
Akar Masalah: Sekularisme!
Sekularisme yang mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan dan negara dijadikan pondasi dalam penerapannya. Berlandaskan sekularisme itu agama Islam tidak boleh dijadikan dasar pengaturan negara dan masyarakat. Pemimpin harus terbuka, tidak memihak satu agama dan pengaturan berbagai urusan rakyat tidak boleh berpatokan pada Islam.
Sekularisme menjadikan individu tak peduli dan meremehkan hal-hal berbau agama. Sekularisme membuat orang menganggap enteng simbol-simbol agama, bahkan menganggap sikap mengagungkan simbol-simbol agama sebagai kefanatikan.
Dengan landasan sekularisme, paham liberalismepun tumbuh subur. Kebebasan disakralkan. Penghinaan terhadap Alquran dan simbol-simbol Islam lainnya pun lantas dibenarkan sebagai ekspresi dari kebebasan. Bagian dari HAM.
Dalam bingkai sekularisme bermunculan paham dan perilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme, sinkretisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi, azan mengiringi lagu Natal (Jpnn.com, 29/12/15). Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian di atas karpet shalat. Aneka ragam kebatinan dianggap sebagai keragaman Islam Nusantara.
Sekularisme juga mengharuskan negara menjadi sekular, netral dari agama. Tidak boleh memihak agama apapun dan harus melindungi kebebasan. Negara sekular tidak mungkin melindungi kemuliaan agama, khususnya Islam. Kalaupun memproses hukum pelaku penghinaan simbol Islam, maka itu bukan karena negara berkewajiban melindungi kemuliaan Islam. Namun sekedar mencegah anarkisme. Meredakan emosi dan kemarahan umat sekaligus melindungi kebebasan dan HAM. Dengan sekulerisme ini, negara benar-benar dibuat tidak berdaya.
Solusi Islam
Simbol-simbol Islam akan terus mengalami penghinaan dan penistaan selama sekularisme terus dijalankan. Sebab, sekularisme-lah yang menjadi akar masalahnya. Karena itu mencampakkan sekularisme beserta ide-ide turunannya harus dilakukan.
Ini seperti ketika Saad bin Abi Waqash bertanya kepada Umar ra. tentang apa yang harus diperbuat dengan buku-buku Persia yang di antaranya memuat ajaran dan filsafat Persia. Umar ra. berkata, "Buang saja buku-buku itu ke air (sungai/laut). Jika di dalamnya ada petunjuk maka sungguh Allah telah menunjuki kita dengan yang lebih baik dari itu (yakni Islam). Jika di dalamnya terdapat kesesatan maka sungguh Allah telah mencukupi kita." (Târîkh Ibnu Khaldun, I/631)
Dalam Islam negara harus dibangun di atas landasan akidah Islam. Wajib melindungi kemuliaan Islam. Dan wajib membina keimanan dan ketakwaan individu rakyat. Dengan ketakwaan itulah, secara faktor individu, penghinaan terhadap Islam tak akan terjadi karena ketakwaan akan melahirkan sikap menganggungkan Islam. Allah SWT berfirman:
"Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (TQS al-Hajj [22]: 32)
Negara juga wajib mendidik rakyat bahwa pelecehan terhadap Islam, ajaran dan simbol-simbolnya merupakan dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir keluar dari Islam. Rakyat harus dipahamkan bahwa sanksi hukuman atas pelecehan terhadap Islam itu juga sangat berat.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat maka gugurlah hukuman mati dari dia, hanya saja negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. (As-Shaidalani, w. 427H)
Ulama dari kalangan Syafi'iyyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya diterima, tidak dihukum mati. Namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj, 5/438).
Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera. Pelakunya tidak akan mengulanginya lagi dan orang lain akan tercegah dari melakukan penghinaan terhadap Islam. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
*Pengasuh Majelis Ta'lim ..., Banjarbaru