Oleh : Irianti Aminatun (Komunitas Penulis Bela Islam)
Al Liwa’ dan Ar Royah dulu diidentikkan dengan bendera Hizbut Tahrir. Namun, sejak arak arakan Ar Raya raksasa pada aksi 212 pada 2016 mencuri perhatian masa, pengenalan al Liwa ar Rayah sebagai Panji Rasululah ini terus disosialisasikan. Hasilnya meski fitnah keji dan persekusi tak henti terjadi, penerimaan bendera itu sebagai Panji Rasulullah kian membulat. Umat islam telah siap menerima bendera tauhid sebagai simbol agama mereka. Karena sejatinya al Liwa ar Rayah adalah bendera lambang persatuan kaum Muslimin bukan bendera ormas tertentu.
Ini terbukti pada aksi 212 Bela Tauhid 2 Desember lalu. Jutaan warna warni bendera Tauhid berkibar diacara tersebut. Tidak hanya itu atribut yang dikenakan oleh peserta aksi seperti topi, bros, ikat kepala, baju juga menunjukkan bahwa umat Islam makin cinta akan identitas keislaman mereka.
Kesadaran yang sudah masif ini tentu harus terus dijaga agar tetap menjadi kekuatan umat. Penjagaan itu dilakukan dengan cara mengkristalkan pemahaman berdasar pada sandaran yang kuat yaitu al Quran dan as Sunnah.
Al Liwa’ dikenal sebagai bendera negara dan simbol kedudukan pemimpin (kepala negara). Al Liwa’ Berwarna putih, dengan khath (tulisan) berwarna hitam “Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh”.
Ar Rayah dikenal sebagai panji pasukan dan simbol pasukan kaum Muslimin. Berwarna hitam, dengan khath (tulisan) berwarna putih “Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh”.
Banyak dalil as-Sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-Liwâ’ dan ar-Râyah. Salah satunya adalah hadis dari penuturan Ibn ’Abbas ra. yang menyatakan: Panji (Râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan bendera (Liwâ’)-nya berwarna putih; tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh. (HR ath-Thabrani)
Kedudukan dan Fungsi Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah
Al-Liwâ’ dan ar-Râyah merupakan simbol kenegaraan. Rasulullah saw sebagai kepala negara, sekaligus komandan pasukan perang yang menjadikan al-Liwâ’ di tangan beliau, semisal ketika Fathu Makkah. Atau secara resmi memberikan mandat al-Liwâ dan ar-Rayah kepada orang pilihan yang diamanahi memimpin pasukan perang, sebagaimana dalam Perang Khaibar. Penisbatan al-Liwâ’ dan ar-Râyah dalam hadis dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah saw. pun memperjelas kedudukannya sebagai syiar Islam.
Makna Bendera Rasulullah
Pertama Sebagai lambang aqidah Islam. Tulisan “Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh” pada al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah kalimat yang membedakan antara Islam dan kekufuran. Kalimat yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Sebagai simbol syahadat, bendera tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah kelak pada hari kiamat. Rasulullah saw bersabda : “Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada Liwa’ al Hamdi dan aku tidak sombong” (HR at-Tirmidzi).
Kedua, Panji Rasulullah dalam makna menerapkan hukum-hukum Allah. “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya maka mereka telah menghalangiku (untuk menumpahkan) darah dan (merampas) harta mereka, kecuali dengan haknya, sedangkan (apabila mereka menyembunyikan kekafiran dan kemaksiatan) maka Allahlah yang menghisab mereka”. (HR.Tirmidzi)
Ketiga, sebagai pemersatu umat Islam. “Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh” adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam tanpa melihat keragaman bahasa, warna kulit, kebangsaan, madzhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.
Keempat Sebagai simbol kepemimpinan. Faktanya, al Liwa dan ar Rayah selalu dibawa oleh komandan perang pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Misal pada saat perang Khaibar Rasulullah saw bersabda : “Sungguh aku akan memberikan ar Rayah ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya. Allah akan memberikan kemenangan pada dirinya”. (HR.Muslim).
Kelima,sebagai pembangkit keberanian dan pengorbanan dalam perang. Bendera sebagai pembangkit semangat dan keberanian itu tampak jelas dalam Perang Mu’tah. Saat itu komandan perang yang memegang bendera berusaha untuk tetap memegang dan mengibarkan bendera walaupun nyawa taruhannya.
Awalnya, liwa dipegang oleh Zaid bin Haritsah hingga ia tewas tertikam tombak musuh. Lalu, bendera itu diambil Ja’far bin Abu Tahalib. Sejurus kemudian prajurit Romawi mampu memenggal tangan kanannya yang digunakan untuk mengibarkan liwa. Karena tidak ingin bendera itu terjatuh Ja’far memindahkannya di tangan kiri. Naas prajurit Romawi kembali menebasnya. Ia tetap saja tidak mau melepaskan bendera Islam, mendekapnya dengan lengan yang berlumuran darah. Melihat hal itu, musuh membelah tubuh anak muda itu. Sahabat Nabi yang lain tidak membiarkan liwa tumbang. Abdullah bin Rawahah segera mengambil alih liwa. Ia juga terbunuh. Bendera diambil Tsabit bin Arqam lalu diserahkan kepada Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan yang baru.
Keenam sebagai sarana untuk menggentarkan musuh dalam perang. Bagi diri sendiri bendera berfungsi untuk membangkitkan semangat dan keberanian. Sebaliknya, bagi musuh bendera itu sebagai sarana untuk memasukkan rasa gentar dan putus asa kepada mereka.
Kemuliaan dan Kedudukan al Liwa’ Ar Royah
Di dalam Islam, bendera menduduki posisi yang sangat tinggi. Dulu bendera ini selalu diusung oleh tangan mulia Rasulullah saw dalam setiap peperangan dan ekspedisi militer. Panji dan bendera juga memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia sebab didalamnya terdapat kalimat tauhid. Di hati musuh-musuh Islam, Ia laksana sambaran tombak. Sebaliknya kecintaan pembawa bendera terhadap benderanya melebihi cintanya pada diri sendiri.
Al Liwa’ dan Ar Royah Kini
Kemuliaan al Liwa’ dan ar-Royah terus terjaga selama beberapa abad.Kemuliaan itu berakhir setelah berkembangnya ide negara bangsa (nation state) yang menjadi faktor utama keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3 maret 1924. Nation state telah menjadi racun yang mematikan karena telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslimin.
Negeri-negeri Islam yang dulunya ada dalam satu negara yakni negara khilafah dan satu orang pemimpin yakni Khalifah, menjadi terpecah-pecah dalam negara bangsa. Saat ini ada lebih dari 57 negara bangsa dan 57 bendera negara yang dulunya ada dalam satu wilayah Khilafah Islam. Sejak itulah Al Liwa’ dan ar- Rayah menjadi asing dan terasingkan. Kewibawaan dan kemuliaannya hilang, diganti dengan simbul murahan.
Upaya untuk mengalienasi syariah Islam dan simbol pentingnya, termasuk al Liwa dan ar Rayah, dilakukan secara sistematis oleh negara kafir penjajah dan dibantu oleh anteknya di negeri Muslim. Al-Liwa’ dan ar-Rayah yang dulu dimuliakan, diagungkan bahkan orang-orang terbaik berharap untuk mengusungnya, kini distigmatisasi. Ekspos bendera ISIS oleh media telah berhasil membuat stigma negatif terhadap Khilafah dan bendera tauhidnya.
Oleh karena itu spirit bela Tauhid yang kini tengah membara di tengah umat harus terus dirawat. Agar selalu tumbuh dan terus berkembang di tengah-tengah umat. Tak hanya muncul saat simbol-simbol Islam dihinakan. Tak hanya hadir saat syiar-syiar Islam direndahkan. Yang jauh lebih penting adalah saat hukum-hukum Allah SWT dan syariah Islam dicampakkan, sebagaimana saat ini. Semangat bela tauhid harus mewujud dalam visi sekaligus misi hidup seluruh umat Islam, untuk mengembalikan kemuliaan al Liwa ar Roya. Visi itu harus mendorong dan menuntut penguasa untuk segera menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bi showab.