Oleh : Siti Sadja'ah
Meskipun Aksi Reuni
212 di Monas sudah berlalu, namun semangatnya
masih membara di hati umat Islam. Mereka yang hadir di acara tersebut, baik
Muslim maupun nonMuslim, semuanya terpukau dengan pelaksanaan aksi ini. Padahal
yang hadir di acara ini jutaan orang, bahkan ada yang menyebutkan ada sekitar
13,4 juta orang yang hadir, tapi aksi bisa berjalan dengan aman, damai, lancar,
tidak menimbulkan kegaduhan seperti yang disangkakan oleh sebagian orang
sebelum acara ini dimulai. Walau hanya satu media nasional yang meliput acara
ini, tapi aksi ini tidak luput dari liputan media internasional. Aksi yang
sensasional dan inspiratif bagi umat Islam di negeri-negeri lainnya.
Meskipun agenda
umat saat itu adalah menunjukkan pembelaan umat terhadap bendera tauhid - bukan
bendera ormas tertentu yang selama ini dituduhkan – tapi bertambahnya jumlah
umat Islam yang hadir di aksi tersebut tiap tahunnya menunjukkan meningkatnya
ghirah (semangat) dan kepedulian umat terhadap ajaran Islam, termasuk
simbol-simbol Islam seperti bendera tauhid yang pernah dibakar oleh oknum-oknum
tertentu. Pada tahun 2016 umat berkumpul dan bersatu karena marah melihat satu
ayat Alquran dinistakan. Dan dua tahun kemudian umat pun berkumpul dan bersatu
karena marah melihat bendera tauhid dibakar. Umat saat ini memiliki pemikiran
dan perasaan yang sama ketika melihat salah satu ajaran agama dinistakan.
Setelah aksi dan
umat pun kembali ke daerahnya masing-masing dan melakukan aktivitas seperti
semula, lantas apa yang harus menjadi agenda umat? Apa tanggal 2 Desember tiap
tahunnya hanya dijadikan ajang rutinitas berkumpulnya umat untuk mengenang
perjuangan umat selama ini? Atau sebenarnya masih ada agenda besar yang
menunggu umat untuk segera direalisasikan?
Masih ada PR besar
yang harus dijadikan agenda umat setelah Aksi Reuni 212 dan di hari-hari ke
depannya. Bukan hanya sebatas beraksi ketika ada salah satu ajaran atau simbol
agama yang dinistakan, tetapi beraksi ketika syariat Islam yang merupakan
aturan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menciptakan manusia, alam
semesta, dan kehidupan ini tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat
harus beraksi ketika aturan-aturan Allah hanya diterapkan dalam ranah individu
saja, semisal shalat, shaum, zakat, haji, dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya,
tapi tidak diterapkan dalam ranah kehidupan yang lebih luas, yaitu masyarakat
dan negara. Bukankah 14 abad yang lalu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam
hijrah ke Madinah untuk mendirikan Negara Islam yang hanya menerapkan hukum
Islam dalam mengatur masyarakat dan negara?
Islam bukanlah
sebatas agama, tapi ia adalah ideologi. Islam tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan Rabb-nya dan dirinya saja (hablumminallah dan hablumminannafs),
tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablumminannas),
baik dengan sesama Muslim maupun dengan nonMuslim. Islam adalah agama yang
sempurna, dan kita sebagai Muslim diperintahkan untuk menggunakan hanya aturan
Allah semata yang dibawa oleh Rasulullah.
“Belum sempurna keimanan salah seorang di antara kalian
sampai hawa nafsunya tunduk pada apa yang aku bawa.” (Ibnu
Bathah, Al-Ibanah ak-Kubram, 1/298).
“Sungguh jawaban kaum Mukmin itu jika diseru (untuk taat)
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) mereka ialah
ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (TQS. an-Nuur [24}: 51)
Selain kewajiban,
penerapan syariat Islam secara total harus diyakini akan membawa rahmatan
lil’alamin kepada seluruh umat. Akan membawa keberkahan, bukan membawa masalah
seperti yang ditudingkan oleh orang-orang yang Islamophobia.
Inilah agenda besar
umat Islam yang harus diperjuangkan saat ini.
Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Yaitu
memperjuangkan penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan dengan
tegaknya Khilafah Islamiyah yang juga akan menyatukan seluruh umat Islam di seluruh
dunia di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Wallahu’alam bishshawab.
Tags
kolom opini