Oleh : Irianti Aminatun, Dra. (Pemerhati Masalah Umat)
Manfaat yang menjadi azas interaksi manusia di tengah masyarakat sering menghantarkan pada perbuatan menghalalkan semua cara, tanpa mempedulikan lagi halal dan haram. Tak terkecuali, ulama pun terpapar dengan prinsip itu. Baru-baru ini MUI mengeluarkan fatwa tentang kebolehan penyaluran dana non halal untuk kemaslahatan umat. Dana non halal dimaksud MUI adalah segala pendapatan Bank Syariah yang bersumber dari kegiatan yang tidak halal. Bentuk-bentuk penyaluran dana non halal yang boleh seperti penanggulangan korban bencana, penunjang pendidikan seperti masjid dan mushola, fasilitas umum yang memiliki dampak sosial. (https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20181108205907-78-345133/mui-tegaskan-bank-syariah-boleh-gunakan-dana-tak-halal)
Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan dengan tegas “jangan membuatmu takjub, seseorang yang memperoleh harta dari cara haram, jika dia infakkan atau dia sedekahkan maka tidak diterima, jika ia pertahankan (simpan) maka tidak diberkahi, dan jika ia mati dan ia tinggalkan harta itu maka akan jadi bekal dia ke neraka” (HR Ath-Thabrani).
Sistem politik yang ada sekarang adalah sistem demokrasi sekuler yang menjadikan manfaat sebagai standar perbuatan. Syariat islam yang standarnya halal dan haram tidak menjadi hukum yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ulama yang berada dalam sistem sekuler sering terbawa pada standar manfaat dalam menyelesaikan masalah umat. Atau menjadi alat legimitasi bagi kebijakan Penguasa.
Dalam sistem sekuler ini banyak ulama mendapat cobaan, baik berupa godaan keduniaan atau tipu daya. Tapi yang paling berbahaya dari segala cobaan terhadap mereka adalah cobaan yang mengakibatkan rusaknya agama mereka. Hal itu akan menyebabkan malapetaka bagi umat manusia dan kerusakan dalam skala umum.
Al-Imam Ibn ‘abdilbarr sebagaimana tercantum dalam Jami’ Bayaan al-‘ilm wa Fadhili mengatakan, “Para ulama mengibaratkan ketergelinciran ulama itu bagaikan bocornya sebuah bahtera, yang jika tenggelam maka banyak manusia juga akan ikut tenggelam bersamanya.”
Karenanya penting untuk merivitalisasi peran Ulama dalam membimbing umat sebagai pewaris Nabi (waratsat al-anbiya’). Sebutan istimewa ini tidak pernah disematkan kepada golongan manusia manapun selain mereka. Kata pewaris menunjukkan betapa dekat hubungan mereka dengan para nabi, yakni sedekat hubungan nasab.
Ulama yang didambakan umat pada saat ini, adalah mereka yang benar-benar menjadi pewaris Nabi. Menanamkan pada para penguasa dan rakyat, warisan Nabi mereka yang mulia dengan cara yang lurus, sehingga tidak ada orang zhalim dan di zhalimi. Kemudian mereka mengerahkan seluruh kemampuannya, berjuang menegakkan Sistem islam untuk menegakkan hukum-hukum al-Quran, dan as-Sunah. Berjuang meninggikan kalimat Allah.
Diantara tugas penting Ulama pewaris Nabi adalah : Pertama, memberikan loyalitas hanya pada islam. Tidak pernah gentar menghadapi kelaliman Penguasa. Ulama adalah orang yang lebih takut kepada Allah SWT di saat kebanyakan orang lebih takut pada Penguasa. Ia selalu memegang teguh Islam meski harus tersungkur mati di dalamnya. Kedua, mengawal kekuasaan agar tetap berjalan di atas syariah islam. Ketiga, menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim. Ketika Ulama berlaku lurus dan tegas pada penguasa, hakikatnya ia telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala ia berlaku lemah kepada penguasa zhalim, saat itulah ia menjadi pangkal segala kerusakan. Keempat, membimbing umat dan penguasa agar selalu berjalan diatas jalan Islam. Ulama tidak boleh hanya menyibukkan diri pada ibadah mahdhah, Mereka harus terjun langsung ke tengah masyarakat, membimbing dan membina mereka dengan Islam. Kelima, membangkitkan umat. Meninggikan kesadaran mereka. Membentengi mereka dari paham, keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.
Ulama yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat diatas berhak mendapatkan gelar Ulama akhirat, yakni ulama yang mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah SWT kelak di Yaumil akhir.
Jangan sampai menjadi ulama suu’. Kita berlindung kepada Allah SWT dari bahaya ulama suu’, yang ilmunya tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui. Imam Asy-Syatibi mengatakan “Ulama suu’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”
Diantara ulama suu’ adalah ulama salathiin, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa. Anas bin Malik ra. Menuturkan sebuah hadits, “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama suu’. Mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR al-Hakim).
Yang juga penting untuk disadari adalah bahwa selama tata kehidupan ini masih diatur oleh sistem sekuler yang meniadakan peran Allah untuk mengatur kehidupan manusia, akan sangat berpeluang besar mereduksi loyalitas umat terhadap syariat Islam. Dan bahwa seluruh problem yang dihadapi umat saat ini berpangkal pada ketiadaan kehidupan Islam, yang di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Maka peran, tugas fungsi dan tanggung jawab para ulama adalah berupaya membangkitkan umat menuju tegaknya ‘izzul Islam wal Muslimin.
Wallahu a’lam bi showab.