Oleh: Maya Desmia Pamungkas, S. P.d (Pengasuh Komunitas Sahabat Nisa Rancaekek)
Kisah pilu tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seolah tiada henti.Tuti Tursilawati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Majalengka, Jawa Barat kembali menambah daftar panjang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dieksekusi mati oleh Arab Saudi dengan tuduhan membunuh majikannya, padahal sejatinya ia hanya ingin melindungi diri dari perilaku bejat majikannya yang kerap melakukan pelecehan terhadapnya. Sebelum Tuti Tursilawati, ada beberapa TKI yang juga telah mengalami hal serupa, yakni eksekusi mati oleh Arab Saudi, TribunManado.co.id, (31/10/2018).
Yang sangat disayangkan, dalam kasus Tuti Tursilawati ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan lebih terhadap pemerintah Indonesia. Sebagaimana dilansir kompas.com, (31/10/2018), presiden Joko Widodo pun menyesalkan tindakan eksekusi mati yang dilakukan oleh Arab Saudi terhadap TKI asal Majalengka, Tuti Tursilawati. Namun presiden Joko Widodo pun tak menampik bahwa ini bukanlah pertama kalinya Arab Saudi mengeksekusi mati WNI yang bekerja di sana tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, Tribunnews.com, (31/10/2018).
Aliran buruh migran keluar negeri secara masif terjadi karena sulitnya ekonomi di Indonesia. Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998, terdapat sekitar 400.000 orang yang secara resmi tercatat sebagai TKI setiap tahunnya. Data Bank Dunia menunjukkan, pada tahun 2004, sekitar 80% dari TKI adalah TKW, dan 95% di antaranya bekerja di sektor informal sebagai PRT atau profesi lain yang sejenis. Data terbaru di akhir tahun 2017 tercatat jumlah TKI di luar negeri sekitar 9 juta orang.
Para TKI ini menyumbangkan devisa besar bagi Indonesia. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), nilai remitansi sepanjang tahun 2017 mencapai $8,78 miliar atau setara dengan Rp118,83 triliun.
Sayang, para pahlawan devisa ini tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya. Berbagai kasus menimpa para buruh migran. Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), sepanjang tahun 2014 hingga tahun 2017, ada lebih dari 7.300 kasus overstay, seribu lebih kasus tindak pidana perdagangan orang dan 1.700-an kasus pembayaran gaji yang tidak dipenuhi. Data dari JBMI juga menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2017 ada 4.475 kasus kekerasan dan 217 kasus kematian pada buruh migran.
Selain itu, maraknya buruh migran perempuan yang bermasalah di luar negeri tak akan pernah muncul jika ada jaminan kesejahteraan dari negara di dalam negeri. Karena mereka tidak perlu mencari kesejahteraan di luar negeri dengan meningalkan keluarga mereka, terlebih bagi seorang wanita yang harus meningalkan tangung jawabnya sebagai ummu wa robatul bait.
Pemerintah telah gagal menjamin kesejahteraan rakyatnya karena sistem yang diterapkan merupakan sistem hidup yang salah, dan rusak, serta tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sistem yang hanya bersandar pada aspek manfaat saja, di mana apabila suatu aktivitas tidak memiliki manfaat terhadap mereka (para penguasa), maka aktivitas tersebut tidak akan dipedulikan lagi, dan begitu sebaliknya. Bahkan mereka rela mengorbankan kesejahteraan rakyatnya demi menggapai apa yang mereka inginkan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Migrasi tenaga kerja ke luar negeri terjadi bukan semata karena godaan dolar di luar negeri. Namun lebih karena persoalan ekonomi yang membelit di dalam negeri. Jika sebuah negara makmur, rakyatnya tak akan merasa perlu untuk bekerja di luar negeri. Kalaupun ada yang kerja di luar negeri, jumlahnya tidak masif. Penempatannya juga terkonsentrasi pada pekerjaan profesional yang bergaji besar. Selama pemerintah belum mampu menyejahterakan rakyat, selama itu pula akan terjadi aliran buruh migran. Lengkap dengan sederet persoalan yang mereka hadapi.
Maka solusi bagi masalah TKI bukan sekadar memberi keterampilan teknis, atau pendampingan hukum. Namun mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di dalam negeri. Islam mengajarkan bahwa manusia akan tenang ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, :
"Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kebutuhan dasar bisa dibedakan menjadi dua macam yakni yang bersifat kolektif dan individual. Kebutuhan dasar kolektif meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara wajib secara optimal menyediakan kebutuhan dasar kolektif secara gratis atau terjangkau oleh semua rakyat. Dananya diambil dari baitul maal (kas negara) dari pengelolaan kekayaan negara yang berdasar konsep ekonomi Islam. Rasulullah SAW telah menyediakan dokter dan guru bagi kaum muslim di Madinah secara gratis.
Kebutuhan dasar individual meliputi sandang, pangan dan papan. Individu laki-laki baligh wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar ini bagi keluarganya. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki dewasa. Baik berupa pemberian modal, pengetahuan, keterampilan, maupun pekerjaan. Rasulullah SAW pernah memberikan kapak pada seorang pengemis sebagai modal kerja, sehingga dia bisa bekerja sebagai pencari kayu.
kebutuhan dasar bisa dibedakan menjadi dua macam yakni yang bersifat kolektif dan individual. Kebutuhan dasar kolektif meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara wajib secara optimal menyediakan kebutuhan dasar kolektif secara gratis atau terjangkau oleh semua rakyat. Dananya diambil dari baitul maal (kas negara) dari pengelolaan kekayaan negara yang berdasar konsep ekonomi Islam. Rasulullah SAW telah menyediakan dokter dan guru bagi kaum muslim di Madinah secara gratis.
Kebutuhan dasar individual meliputi sandang, pangan dan papan. Individu laki-laki baligh wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar ini bagi keluarganya. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki dewasa. Baik berupa pemberian modal, pengetahuan, keterampilan, maupun pekerjaan. Rasulullah SAW pernah memberikan kapak pada seorang pengemis sebagai modal kerja, sehingga dia bisa bekerja sebagai pencari kayu.
Perempuan tidak wajib bekerja, justru wajib dinafkahi oleh suami atau walinya. Jika ada rakyat yang lemah (tak mampu bekerja) maka kebutuhan dasar individualnya ditanggung negara. Negara memberikan santunan rutin yang dananya bisa diambilkan dari pos zakat atau pos lain di baitul maal. Khalifah Umar bin Khaththab telah memberikan santunan bagi seorang janda untuk biaya hidup dirinya dan anak-anaknya.
Jika pun ada rakyat yang bekerja di luar negeri, hal ini dibolehkan. Namun negara harus memberi perlindungan hukum sebaik mungkin sehingga terjamin keamanannya di luar negeri. Negara harus membangun kekuatan internasional sehingga disegani oleh negara lain. Warga negara di luar negeri tak akan diperlakukan buruk karena ketegasan sikap pemerintahnya.
Demikianlah sistem Islam memposisikan penguasa sebagai raain (pengurus) dan mas'ul (penanggungjawab) bagi urusan rakyatnya. Setiap rakyat akan merasa diurusi dan dilindungi. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tak akan ada lagi kabar pilu dari para TKI. Berganti senyum bahagia rakyat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran.