Oleh: N. Vera Khairunisa
(Pemerhati Problematika Umat)
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara. Bila melihat pada APBN, kita akan menemukan pajak sebagai pendapatan dengan presentase paling besar.
Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun (Kemenkeu.co.id, 2018).
Melihat data di atas, artinya sebesar 85 % APBN diperoleh dari pajak. Maka wajar saja, jika harga-harga barang bisa mahal. Salah satu faktornya adalah karena ada pajak yang diberlakukan hampir di semua sektor.
Kementerian Keuangan terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya membayar pajak sejak dini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggandeng Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan, salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran taat bayar pajak dapat dimulai dengan memberikan NPWP kepada mahasiswa. Rencana ini pun sudah dia sampaikan kepada para pimpinan perguruan tinggi (Liputan6. com, 09/11/2018).
Padahal dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan, apalagi sebagai sumber pendapatan utama. Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Sementara itu, pengambilan pajak dalam aturan Islam tidak bisa dilakukan sembarangan. Pajak hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Pertama, Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Kedua, tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
Ketiga, harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Keempat, pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari – orang kaya saja -, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.
Kelima, pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Keenam, harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Ketujuh, besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara sejatinya adalah sebuah bentuk kegagalan negara dalam mengatur masalah ekonomi. Sebab pada faktanya, jika mau menerapkan aturan Islam, negara akan mampu membiayai seluruh kebutuhan tanpa pajak. Melihat banyak pos-pos pemasukan yang akan didapat oleh negara.
Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari tekanan pajak yang semakin menjadi-jadi, maka satu-satunya cara adalah dengan menghilangkan sistem yang menjadikan sumber-sumber pendapatan yang harusnya dikelola oleh negara, namun malah diprivatisasi. Diganti dengan sistem yang akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Wallahua'lam.