Suara Emas Mereka Yang Tak Berakal

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Pengasuh Grup Online Obrolan Wanita Islamis (BROWNIS)


Pesta rakyat sebentar lagi digelar, pemerintah mulai berbenah. Dan para capres cawapres mulai berkampanye. Mendulang simpati, berharap di pagelaran pemilu mendatang meraup suara terbanyak dan menjadi pemenang.


Bagi Komisi Pemilihan Umun (KPU) ini adalah proyek besarnya. Namun tahun ini ada yang tidak biasa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI saat ini tengah mendata peserta pemilih yang memiliki gangguan kejiwaan dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Komisioner KPU RI Ilham Saputra, mengatakan merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam UU Pilkada terkait hak pilih dari pengidap gangguan jiwa, dimana haknya menjadi peserta pemilu wajib dilaksanakan. Jadi MK mengatakan bahwa teman-teman disabilitas mental itu harus diberikan hak memilih karena selama ini tidak diberi hak memilih,” ungkap Ilham di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (suara.com/06/03/2018).


Dia menjelaskan, ada kriteria tertentu yang membatasi seseorang tidak berhak memilih. Mereka akan diberi surat yang menyatakan, calon pemilih tersebut tidak dapat memilih karena kadar atau level disabilitas mentalnya tak memungkinkan untuk memilih. Jadi, lanjut Ilham, saat ini KPU RI mendata Rumah Sakit Jiwa yang memiliki data penyandang disabilitas mental itu.


Sungguh kebijakan di luar nalar. Bukankah pemilu dan pilkada adalah dalam rangka memilih pemimpin?. Lantas jika pemilih golput saja dilarang, dianggap bukan pilihan mengapa orang yang mengalami gangguan mental bisa mendapatkan haknya?.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah rodhiyalloohu ‘anhaa, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda sebagai berikut:

” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “
Artinya:
“Diangkat(lah) pena dari tiga orang yakni dari orang yang tidur sampai orang tersebut kembali bangun, dan dari anak kecil sampai anak tersebut bermimpi (baligh), dan dari orang yang gila sampai dirinya menjadi berakal kembali”.

Selain dari ‘Aisyah rodhiyalloohu ‘anhaa, hadits di atas juga diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyalloohu ‘anhu. Hadits di atas dapat kita jumpai dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, serta Musnad Ahmad, dan Kitab-Kitab Musnad lainnya.


Hadis diatas menyatakan secara gamblang  bahwa tiga golongan itu bebas dari dosa dikarenakan bebas dari hukum syara karena keadaan mereka. Artinya amal perbuatan mereka tidak akan berpengaruh pada dosa dan pahala mereka. Jika hari ini suara mereka bak emas yang didata untuk kepentingan pemilu dan pilkada, tidak lain hanya karena kerakusan sistem ingin meraih suara terbanyak. Inilah dua muka demokrasi, semua cara bisa dihalalkan. Tak penting isi otak, yang penting dari satu orang terhitung satu suara. Untuk mendapat kemenangan.


Lebih dari itu, politik hanya untuk meraih kekuasaan bukan amanah untuk periayaan. Perhatian kita semestinya tertuju pada dengan apa penguasa itu nantinya akan memimpin. Jika caranya saja sudah meragukan, apalagi sistem yang hendak mereka jalankan. Sudah pasti akan juga menghalalkan segala cara, alias sekulerisme. Astaghfirullah.


Padahal, Allah mensifati pemimpin  dengan berbagai syarat. Salah satunya adalah berakal. Agar ia mampu menyelesaikan tanggung jawabnya mengurusi rakyat.  Seorang pemimpin dalam islam adalah mereka yang mampu menjalankan amanah, yaitu menerapkan hukum syara untuk kebaikan seluruh alam.  


Maka jika ada syarat bagi pemimpin begitu pula bagi pemilih. Pemilih yang benar adalah mereka yang paham untuk apa ia dipimpin. Bukan sekedar angka capaian di atas kertas, namun lebih kepada pertanggung jawaban kepada Allah swt, yang dengan pilihannya seorang pemimpin bisa melaksanakan kewajibannya. Terlebih jika pemilih sadar bahwa pilihannya menjadi hujjah kelak dihadapan Allah, karena dengan apa pemimpin yang dia pilih itulah ditentukan masa depan sebuah kelompok. Dengan sistem kufurkah atau shahih.


Islam agama sempurna, tujuan ditegakkan syariat adalah untuk melanjutkan kehidupan islam melalui negara maka membutuhkan pemimpin yang sesuai syara begitu pula pendukungnya. Negara adalah sarana untuk mengurusi urusan rakyat, kesejahteraannya dan keadilannya harus terjamin oleh negara. Maka negara bukan semata-mata institusi yang meraih kekuasaan kemudian selesai. Dan hanya Islam yang bisa kita jadikan harapan, dengan sistemnya yang sesuai fitrah akan mampu mengantarakan manusia kepada derajatnya yang mulia.


Wallahu a'lam biashowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak