SOLUSI JITU MENUNTASKAN LGBT SAMPAI KEAKARNYA

Oleh : Sri Nova Sagita (Pengajar) 

Sumatera Barat sangat dikenal dengan masyarakatnya yang religius sekaligus menjunjung Adat Basandi Syara’, Syara’ Barsendi Kitabullah (ABS-SBK) tidak dapat menolak dan menahan aib. Hasil survei Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Barat dan lembaga konseling rekanan bahwa Sumatera Barat di akhir tahun 2017 menempatkan Sumatera Barat pada peringkat pertama secara nasional dihuni oleh kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual.

Hal tersebut tentunya menjadi Pe-Er besar bagi semua pihak di Sumatera Barat agar kelompok LGBT tersebut diberantas habis. Karena jelas-jelas perilaku mereka di laknat Allah sekaligus bisa menular. Perlaku LGBT juga menjadi penyumbang tertinggi penderita HIV/AIDS di Sumatera Barat. Sebagaimana dari data yang diperoleh Kepala Instalasi Promosi Kesehatan (Promkes) RSUP Dr M Djamil Padang Ns. Ema Julita, S.Kep, MARS, saat ditemui di ruang kerjanya ( 26/2). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Sumbar di dominasi para pelaku seks menyimpang. RSUP M. Djamil Padang sejak 2003 telah menangani 1.574 penderita HIV/AIDS.

“Setiap bulan paling tidak Klinik Voluntary Counseling Test (VCT) RS Djamil menerima 15 sampai 20 pasien HIV baru. Paling tinggi dalam sebulan itu pernah 40 pasien baru. Artinya lebih satu orang satu hari. Tapi angka itu tetap fluktuatif. Yang patut dicatat, merujuk pada 1:100 penularan HIV baru, sehingga dibelakang 1 orang penderita ada 100 orang yang berpotensi, maka kalau 1.547 kali seratus, jumlahnya akan sangat fantastis”. (Haluan, 27/2/2018)

Dari data penularan HIV/AIDS di Sumbar ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia (PKVHI) Katerina Welong di Auditorium Gubernur Sumatera Barat (23/4). Menyebutkan kalau di awal tahun 2018 ini terdapat belasan ribu Lelaki Suka Lelaki (LSL), PSK dan ribuan waria di empat kabupaten/kota yang menjadi titik riset.

 “Riset dilakukan di empat lokasi, yakni Padang, Bukittinggi, Kota Solok dan Kabupaten Solok. Hasilnya, Padang merupakan daerah tertinggi penyebaran LGBT. Untuk HIV tertinggi terdapat di Kota Bukittinggi. Sedangkan untuk Kota Solok dan Kabupaten Solok lebih kepada data pendukung. Kita juga mendata jumlah waria, LSL, dan PSK di setiap daerah yang menjadi titik riset,” terang Ketua PKVHI Sumbar.

Secara rinci, Katerina menyebutkan, terdapat 14.469 Lelaki Suka Lelaki LSL, 12.783 PSK dan 2.501 waria di empat daerah yang diriset. Dari tiga yang disebutkan, LSL menjadi penyumbang tertinggi dalam penyebaran HIV/AIDS. Data dari empat kabupaten/kota di Sumbar juga sebagai bukti kalau kaum Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) secara masif bergerak di tengah masyarakat. “Dari kasus di atas, persentasi kasus HIV tertinggi adalah LSL 28 persen, hetero 24 persen. AIDS kelompok umur 20-29 tahun 29,3 persen. Artinya dari data ini faktor risiko yang berlaku secara ilmiah orang yang terinveksi HIV bisa beperilaku 10 tahun sebelumnya,”

Dari data yang ada penyebaran LGBT terjadi melalui Media sosial yang merupakan tempat penyebaran terbesar kasus LGBT yaitu 58,7 persen. Sedangkan dari rekomendasi dan komunitas 21,7 persen. Media yang dipakai itu Facebook 41,8 persen, Whatsapp 18,9 persen, Twitter 6,6 persen, Wechat 18,9 persen, lain-lain 13,8 persen. Harus ada antisipasi terkait hal ini karena menyangkut pengawasan orang tua,” ujarnya (Haluan,4/7/2018)

Oleh karena itu semua pihak mempunyai tanggung jawab berat untuk melakukan mencegah dan mengatasi agar tidak terjadi penularan, mengingatkan atau melaporkan hal-hal yang berbau LGBT di lingkungan masing-masing.

 Karena sekarang mereka tidak segan-segan lagi untuk menunjukkan eksistsensinya di berbagai tempat di beberapa kota di Sumatera Barat, seperti dengan akan diadakannya Bekate Colour Run yang rencananya akan diadakan 21 Oktober 2018 lalu di Bukittinggi namun dibatalkan pemko Bukittinggi karena berbau LGBT. Di kota Payakumbuh terjadi perbudakan seks yang memakan korban tiga orang remaja yang pada umumnya merupakan anak jalanan. Di kota Padang terciuduk 10 (sepuluh) pasang Lesbian di kos-kosan setelah menunjukan foto-foto tak senonoh mereka di media sosial. Dan banyak kasus lain yang terjadi baik yang sudah atau belum terekspose media.

Sanksi apa yang sepantasnya diterima oleh kelompok LGBT ini agar penularan tidak terus terjadi?

Keresahan masyarakat Sumatera Barat terhadap kelompok LGBT mulai direspon oleh tokoh maupun pemangku adat di Sumatera Barat. Menurut Pakar Hukum dari Universitas Sumatera Barat (UMSB), Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH. (Haluan, 8/11/2018). Masalah LGBT lebih efektif diberantas melalui penerapan Hukum Adat dibanding Perda Pekat yang dilahirkan pemerintah daerah. Karena menurutnya LGBT adalah masalah sosial yang mesti diselesaikan dengan pendekatan sosial sendiri. Dasar hukum untuk memberlakukan hukum atau sanksi adat bagi pelaku LGBT adalah Perda No. 7 tahun 2018 tentang Nagari. Dalam Perda disebutkan bahwa hukum adat adalah hukum asli. Sebagaimana pemberlakukan hukum adat dijamin oleh Konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 18b ayat 2 disebutkan “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang di atur dalam Undang-undang”. Sekarang persoalannya, berani tidak perangkat-perangkat adat ini memberikan sanksi kepada pelaku LGBT?

Sedangkan menurut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Sayuti Datuak Rajo Panghulu mengatakan, untuk memberantas pelaku LGBT harus ada campur tangan dari pemerintah dan pemangku adat. “Pemerintah, ulama dan niniak mamak sebagai pemangku kepentingan dalam kaum suku di Minangkabau harus saling bersinergi. Artinya, ulama mengawasi umat, niniak-mamak mengawasi anak dan kemenakan serta pemerinrah mengawasi masyarakatnya,” (Haluan, 13/11/2018)

Sementara desakan dari berbagai pihak belum ada keseriusan pihak Pemprov Sumatera Barat membuat payung hukum untuk menindak lanjuti kelompok LGBT ini. Tarik ulur Revisa Perda Nomor 11 Tahun 2001 tentang pencegahan dan Pemberantasan maksiat upaya mencegah tumbuh kembangnya LGBT masih dipertanyakan sampai sekarang.

Islam: Solusi Hakiki

LGBT muncul dari berkembangnya ideologi Kapitalis dan Liberalis yang bercokol dinegeri ini. Kebebasan atas nama HAM terus digaungkan. Seolah apa yang mereka perbuat adalah fitrah. Hal ini tentu bertentangan dengan fitrah manusia yaitu fitrah untuk melanjutkan keturunan. Islam mengatur bagaimana cara untuk memenuhi hasrat seksualnya tanpa menentang fitrahnya.

Islam memberikan solusi preventif (pencegahan) terhadap perilaku menyimpang ini dengan cara. Pertama, mewajibkan negara untuk terus meningkatkan keimanan dan memupuk ketaqwaan rakyatnya. Kedua, Islam memerintahkan untuk menguatkan identitas diri baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Maka Rasulullah melarang laki-laki dan perempuan menyerupai lawan jenisnya. Ketiga, Islam mengharuskan pemisahan tempat tidur anak-anak rasulullah saw. Bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian shalat pada usia 7 tahun, pukullah mereka pasa usia 10 tahun jika tak mau shalat, dan pisahkan mereka ditempat tidur (HR Abu Daud). Keempat, Islam melarang tidur dalam satu selimut. Kelima, Secara sistematis negara harus menghilangkan ransangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi.

Selain itu Islam juga menerapkan aturan yang bersifat kuratif (penyembuhan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dalam masyarakat. Bagi pemula bisa dilakukan dengan mengubah pola pikir dan pola sikap mereka terhadap homoseksual maupun lesbian. Para pelaku harus menjauhi pasangan mereka dan tempat-tempat yang membuat mereka terjerat dengan perilaku tersebut. Serta mengalihkan naluri seksual tadi ke naluri lain, seperti menyibukkan diri dengan aktifitas agama, zikir,puasa atau ibadah kepada Allah SWT. Memberikan pemahaman kepada mereka bahwa apa yang mereka perbuat adalah dosa besar dan mengajak mereka untuk segera bertaubat.

Solusi Islam dalam memberlakukan hukumanan terhadap pelaku LGBT adalah dengan menerapkan sanksi yang tegas. Bagi pelaku Sodomi, baik subyek maupun obyeknya dikenakan sanksi berupa hukuman mati. Rasulullah besabda: Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi) (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-baihaqi)

Dalam ini tidak ada perbedaan pendapat antara para fuqaha”, khususnya para sahabat Nabi saw., seperti yang dinyatakan oleh Qadhi Ilyadh dalam kitab Asy-Syifa’.

Ijma’ sahabat bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhsham). Namun dalam prakteknya para sahabat berbeda mengenai teknis hukuman mati untuk gay. Menurut Ali bin Thalib ra. , kaum gay harus dibakar dengan api. Menurut Ibnu Abbas ra., harus dicari dulu tempat yang tertinggi di suatu tempat, lalu jatuhkan gay dengan kepala dibawah, dan setelah sampai ditanah dilempari batu. Menurut Umat bin Khathhab ra., dan utsman bin Affan ra., gay dihukum mati dengan cara ditimpakan dinding tembok padanya sampai mati. Memang para sahabat Nabi saw berbeda pendapat tentang cara ini. Namun, semuanya sepakat bahwa gay wajib dihukum mati (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal 21)

Demikian juga untuk lesbianisme. Para fuqaha’ sepakat akan keharamannya, berdasarkan hadis dari Watsilah bin Al Asqa’ ra., bahwa rasulullah saw bersabda: Perbuatan lesbian diantara wanita adalah [bagaikan] zina. (HR. Abu ya’la. Lihat juga Majma’ az-zawa’id, VI/256).

Hadis dari Ibnu Mas’ud ra., yang berkata bahwa Nabi saw., telah melarang perempuan bersentuhan kulit (mubasyarah) dengan perempuan lain dalam satu selimut karena bisa jadi perempuan itu akan menceritakan keadaan temannya itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihat perempuan teman istrinya itu (HR al- Bukhari). Jika bersentuhan itu terjadi antar kemaluan (farji), yaitu lesbianisme, maka tentu lebih haram lagi dan merupakan kemaksiatan yang berlipat ganda (ma’shiyah mudhaa’afah) (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/257; Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, VII/366).

Namun hukuman lesbianisme tidak seperti hukuman zina melainkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang tidak dijelaskan oleh sebuah nash khusus. Jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qad’i (hakim). Ta’zir ini bentuknya bisa berupa hukuman cambuk, penjara, publikasi (tasyhir) dan sebagainya (Saud al-Utaibi, Al-Mawsu’ah al-Jina’iyyah al-Islamiyah, hlm 452; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hlm 9).

Begitulah sikap tegas Islam dalam memberikan sanksi bagi pelaku LGBT. Dengan penerapan aturan Islam maka akan menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Umat Islam pun akan tercegah dan bisa diselamatkan dari perilaku ini. Kehidupan dalam masyarakat akan lebih bermartabat dan berbudi pekerti jauh dari perilaku asusila. Hal ini tentunya akan terwujud hanya dengan menerapkan aturan Islam semata.

    

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak