Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Sekularisme, sekulerisme, atau sekuler saja dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan (id.wikipedia.org). Paham yang awalnya lahir dari kompromi perseteruan dua pihak di Barat sana, sebenarnya tidak relevan di bawa ke negeri kaum muslimin. Sebab di negeri asalnya sekulerisme ini digunakan untuk menghilangkan penekanan elit rohaniawan mereka yang menggunakan legitimasi agama untuk menzalimi kalangan bawahnya. Meski bertahun-tahun bertahan, namun pada akhirnya sistem ini digugat oleh kalangan intelektual yang menyadari kezaliman tersebut. Hingga sebagai jawaban atas sengketa itu lahirlah konsep sekularisme, bergagasan memisahkan agama dari kehidupan. Menempatkan urusan agama hanya dalam bilik ritual, sedangkan perkara sehari-hari mutlak diserahkan pada aturan buatan manusia.
Sayangnya konsep ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, segala aktivitas manusia adalah amalan yang akan dimintai pertanggungjawaban di kemudian hari. Dalam surat Al Mudatsir ayat 38 Allah berfirman yang artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Maka sangat relevan jika perbuatan sekecil apapun itu harus menyesuaikan dengan titah sang peminta pertanggungjawaban, Allah SWT.
Pengkajian yang teliti terhadap Islam akan menunjukkan bahwa ianya memiliki aturan sempurna dan lengkap. Mengatur urusan ibadah ritual dan selainnya. Mencakup aspek Ruhani juga mengendalikan aturan hidup sehari-hari. Mengatur urusan individu secara personal, individu dengan Rabb nya, juga individu itu dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semuanya ada, komplit.
Pemeluk Islam diwajibkan masuk ke dalam Islam secara totalitas. Kaffah dalam bahasa Al-Qur'an (Lihat Surat Al Baqarah ayat 208). Artinya tidak dibenarkan ambil Islam hanya dalam urusan yang ibadah saja sedangkan lainnya mengikuti apa kata keumuman manusia. Mengambil urusan akhlak yang disenangi saja, sedangkan perkara siyasinya tidak usah dibawa-bawa.
Islam tidak mengajarkan sekularisme seperti itu. Sebab memang bujukan syetan lah yang membuat manusia tergelincir untuk mengambil sebagian isi kitabullah dan mengacuhkan sebagian yang lain. Dan konsep seperti itu lagi-lagi tidak dibenarkan. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian kepada sebagian (yang lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian itu di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85)
Namun fakta di sekitar kita justru menunjukkan bahwa sekularisme sudah menancap kuat dibandingkan pemahaman ajaran Islam yang kaffah itu sendiri. Banyak yang berlomba-lomba menjalankan dunia dengan aturan berdasarkan asas manfaat. Banyak yang mengerjakan pelanggaran syariat dalam hal bertingkah laku karena alasan hak. Banyak yang suka-suka berbuat dosa karena tidak merasa ada beban di akhirat kelak.
Semuanya pola sekularisme tadi merata di kalangan masyarakat. Bahkan level terpandang pun turut menggelindingkannya dengan mencampurkan halal dan haram, sebagaimana wacana dari MUI terkait kebolehan penggunaan dana tak halal bagi bank syariah (m.cnnindonesia.com, 08/11/2018).
Apakah dana yang tak halal itu maksudnya riba? Jika benar, bukankah di surat Al Baqarah ayat 275 riba itu diharamkan?
Sungguh sangat miris. Kesuksesan sekularisme yang terus dipropagandakan lewat berbagai media terbukti sukses merenggut loyalitas terhadap Islam Kaffah. Akibatnya pernah manusia, alam semesta dan kehidupan tak lagi dekat dengan aturan Allah. Lalu kerusakan dimana-mana. Datang saling bersambung susul menyusul satu dengan lainnya. Tentu hal seperti ini tak boleh dibiarkan. Semua umat Islam harus bekerja sama agar tak tersentuh sekularisme, agar hanya menyerahkan loyalitas ketaatan pada syariat Islam semata.
Untuk keutamaan loyalitas terhadap syariat tersebut lah diperlukan peran besar dari ulama. Ulama tidak boleh menjadi bayangan bagi dilegitimasinya aturan yang bertentangan dengan hukum Allah. Sebab sudah saatnya ulama berada dalam garda terdepan dalam mengawal umat memperjuangkan atmosfer pro syariah. Ulama lah yang menjadi pelita bagi umat, agar suka rela mengganti sekularisme dengan Islam. [Arin RM]