Rezim Sekuler Pembela Penista Agama?

Oleh Firda Umayah, S.Pd


Garut, 22 Oktober 2018. Hari Santri Nasional ternoda oleh aksi pembakaran bendera tauhid yang diklaim oleh sang pembakar sebagai bendera salah satu ormas Islam yang terlarang di Indonesia. Umat Islam pun mengecam dan marah dengan tindakan tersebut. Sebab, bendera hitam dengan tulisan putih tersebut jelas menunjukkan kalimat dua syahadat yaitu "Laa Ilaaha Illa Allah... Muhammad Rasulullah (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah)". Tidak ada satupun penanda bahwa itu milik ormas tertentu dan tidak ada satupun yang boleh mengklaim bahwa itu milik individu atau ormas tertentu. Karena bendera tauhid tersebut telah dicantumkan dalam Hadits Rasulullah saw.


Diketahui bahwa bendera yang dibakar merupakan Ar-Rayah salah satu panji Rasulullah saw. Selain Ar-Rayah, ada satu lagi panji Rasulullah saw yang dikenal dengan Al-Liwa'. Lantas, apa perbedaan antara Ar-Rayah dan Al-Liwa'?


Ar-Rayah adalah panji Rasulullah yang juga diberi nama 'al-Uqab'. Berwarna hitam dan berbentuk segi empat. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan :

" Telah dinyatakan bahwa Rasulullah saw memiliki sebuah panji yang bernama al'uqab. Panji itu berwarna hitam dan berbentuk persegi empat." (Fath al-Bariy: VI/127).

Ar-Rayah bertuliskan 'Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasul Allah' berwarna putih. Dalam hadist disebutkan pula :

"Adapun pada Rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih." (HR. Ahmad)


Al-Liwa adalah bendera Rasulullah dengan warna putih. Dari Ibnu Umar, beliau berkata :

"Tatkala Rasulullah saw memasangkan benderanya, beliau memasangkan bendera (liwa') yang berwarna putih." (Abu Syaikh, Akhlaq an-Nabi saw wa Adabuhu, hal 155, no. 423)

Dituturkan oleh Imam Thabrani dari Abu Hurairah dan Ibnu 'Abbas bahwa bendera Rasulullah saw bertuliskan lafadz 'Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasul Allah' (Mu'jam al-Ausath: I/77, no. 219). Tentang warna tulisan, disebutkan:

"Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam." (HR. Ahmad)


Masih terdapat banyak hadits lain yang di syarah dalam kitab-kitab shahih bahwa Rasulullah saw memiliki dua panji yakni Al-Liwa dan Ar-Rayah. Dimana keduanya dikibarkan tidak hanya disaat perang. Namun juga disaat damai sebagaimana saat peristiwa penaklukan Mekah (Fathul Makkah). Sehingga, keberadaan dua panji Rasul ini merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan.


Namun sayang, dibalik tragedi pembakaran bendera tauhid tersebut tersimpan kisah pilu yang mengiris hati setiap muslim yang membela bendera tauhid tersebut. Sebab, terjadi pengarusan opini yang dilakukan oleh pihak yang berwenang bahwa kejadian tersebut bukanlah kesalahan para pembakar bendera. Namun kepada sang pembawa bendera. Hal ini sesuai dengan kesimpulan polisi yang juga dirilis dalam salah satu media. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Presetyo menyimpulkan bahwa faktor utama penyebab terjadinya tindakan pembakaran ini dan yang menimbulkan gangguan kegiatan peringatan HSN adalah tindakan laki-laki yang menyusup dan mengibarkan bendera HTI yang sudah dilarang sebelumnya. Tidak akan terjadi insiden ini, jika tidak ada tindakan laki-laki menyusup dan membawa bendera HTI,” ungkapnya. (republika.co.id)


Lebih menyakitkan lagi adalah ketika ketiga pembakar bendera dibebaskan karena dianggap tidak bersalah. Sebagaimana halnya yang dituturkan oleh Brigjen Dedi yang menuturkan alasan untuk memutuskan tidak bersalah kepada tiga orang tersebut karena tidak ditemukan niat jahat. Ketiganya melakukan aksi pembakaran karena spontanitas melihat adanya bendera HTI di tengah-tengah acara peringatan Hari Santri Nasional (HSN). (republika.co.id)


Bahkan pembelaan terhadap fakta pembakaran bendera dan para pembakarnya juga di ungkapkan oleh Menkopulhukam. Wiranto menjelaskan, ormas Islam tidak mungkin dengan sengaja membakar “Kalimat Tauhid” yang artinya sama saja melakukan penghinaan terhadap diri sendiri. Namun semata-mata ingin membersihkan pemanfaatan penggunaan “Kalimat Tauhid” yang digunakan di bendera ormas HTI yang telah dilarang keberadaannya. (mediacerdasbangsa.com)


Sungguh, merupakan hal yang sangat disayangkan ketika pemerintah yang mayoritas adalah seorang muslim membiarkan bahkan membela aksi dan pelaku para penista agama. Lantas, mengapa pemerintah berani untuk melakukan hal ini? Sebab, rezim yang tegak saat ini telah menganut pemahaman sekuler. Yakni memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, tidak boleh siapapun memasukkan atau menggunakan aturan agama dalam mengatur urusan kehidupan baik dalam bermasyarakat maupun dalam bernegara. Sehingga segala keputusan yang diambil cenderung memihak kepada pihak yang dapat mengamankan rezim tersebut. Tak peduli bahwa hal itu merupakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah. Walhasil, kebijakan yang diambil justru mengkriminalisasi ajaran Islam dan dapat memecah belah umat. Umat seakan diadu domba satu dengan yang lain akibat keputusan rezim sekuler. Lebih parah lagi, akibat pembiaran terhadap aksi penistaan agama dalam hal ini terhadap simbol-simbol Islam justru mengkriminalisasi ajaran Islam tersebut. Sehingga terlihat bahwa rezim sekuler merupakan rezim yang represif dan anti Islam.


Oleh karena itu, umat Islam harus lebih cerdas dalam mensikapi segala hal. Bahkan umat Islam perlu penegakkan sistem hukum yang tegas yang mampu menjerakan segala tindakan penista agama secara khusus dan segala tindak kejahatan pada umumnya. Semua itu tidak akan terwujud selama rezim yang ditegakkan bersifat sekuler dan mengabaikan segala perintah agama Allah swt. Sehingga, perlu ada upaya untuk mengajak umat dan membentuk persatuan untuk menegakkan sistem Islam yang akan mampu menutup celah penistaan agama. Sebab hanya negaralah yang mampu memberikan sanksi yang tegas terhadap semua pelanggaran hukum berdasarkan syariatNya. Allah swt berfirman dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 50 yang artinya, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?".

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak