Oleh : Hasri Yolanda
(Bidan dan pemerhati remaja)
Bercerita tentang remaja dan masuk pada dunia mereka, saat ini akan berbeda dengan cerita remaja lima tahun atau sepuluh tahun silam. Status pacaran atau tidak bukanlah dinding yang akan membatasi perilaku penyimpangan seksual pada salah satu pasangannya.
Setelah lama berbincang seorang remaja putri usia 17 tahun memberanikan diri bercerita pengalamannya pernah dekat dengan seorang pria. Menjalin hubungan jarak jauh dan tentunya komunikasi mereka terjadi melalui media sosial. Tapi, kembali lagi ini bukanlah penghalang terjadinya perilaku penyimpangan seksual.
Komunikasi mereka biasa dilakukan melalui video call di whatsapp. Dengan malu remaja ini bercerita bahwa pacarnya memperlihatkan salah satu bagian tubuh yang tidak sewajarnya dilihat oleh orang lain apalagi tidak ada status pernikahan diantara mereka. Sontak gadis ini terkejut dengan perlakuan pasangannya. Apakah kejadian ini hanya satu kali? Tidak! Ia bahkan berani mengulanginya dikesempatan yang lain. Namun setelah itu perempuan ini sadar dan ia segera memutuskan hubungan LDR(Long Distance Relation) dengan lelaki itu.
Keberuntungan masih membersamai gadis belia yang duduk di bangku sekolah ini. Kisahnya cukup mewakili tumpukan “gunung es” kisah-kisah perlakuan penyimpangan seksual oleh pasangan diluar hubungan pernikahan. Belum lagi peningkatan tajam kasus LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transgender) yang terjadi pada remaja.
Penelitian yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat di beberapa kota pada bulan Februari-April 2018 menemukan data yang sangat mengejutkan. Hasil riset ini menyebutkan, diperkirakan terdapat 14.469 orang pelaku hubungan Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) atau Gay di Sumatera Barat. Dilihat dari distribusi usia, pelaku LGBT paling banyak berusia 15-25 tahun, porsinya bahkan 75 persen dari 147 responden yang diteliti. (www.m.republika.co.id)
Tangan mencincang bahu memikul. Pepatah lama yang sesuai dengan penyakit penyerta pada pelaku LGBT. Jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatera Barat mencapai 1.192 orang yang tersebar di seluruh kabupaten/kota pada tahun 2016. Menurut sekretaris KPA(Komisi Perlindungan AIDS) Sumbar, penyumbang terbanyak berasal dari pelaku homoseksual, pergaulan bebas, kumpul kebo, penggunaan narkoba dengan jarum suntik, dan sejumlah faktor lainnya. (www.news.okezone.com)
Gaya baru pergaulan
Membaca data dan angka saja sudah mengerikan. Apalagi kejadian sebenarnya di lapangan. Kasus HIV/AIDS dan penyebarannya di lapangan bisa jadi bergerak lebih cepat melampaui data di atas kertas. Bisa dibayangkan setiap anak yang akan lahir beresiko tertular HIV/AIDS dari orangtuanya. Mengerikan bukan, sejak lahir sudah menanggung resiko akibat perbuatan ayah LSL atau ibu Lesbian. Kemungkinan ini sudah selayaknya jadi bahan renungan di tengah euphoria peringatan HKN (Hari Kesehatan Nasional) bagi petinggi negeri dalam mengambil kebijakan sebelum gelap semakin menghampiri.
Kejadian penyimpangan perilaku seksual dan LGBT beserta akibatnya. Terlihat jelas kasus ini menimpa sebagian besar remaja. Mereka yang berada pada usia 12-21 tahun. Mencakup remaja tahap awal, masa remaja pertengahan dan masa remaja akhir. Remaja yang dari bangun tidur dan akan tidur lagi selalu ditemani layar bersinar. Kacamata berbinar pun sehari-hari menemani rutinitas mereka akibat mata minus atau silindris. Internet dan smartphone sepertinya termasuk kategori kebutuhan pokok generasi milenial.
Alasan lama jika kita menyalahkan kemajuan teknologi. Sebab pelaku dunia bisnis berbasis teknologi saat ini bisa saja memliki omset lebih besar dari pelaku bisnis yang tidak memanfaatkan kemajuan teknologi internet. Begitu pun pada remaja milenial saat ini. Bisa saja mereka menemukan aplikasi baru untuk menyaring pelaku LGBT misalnya. Atau menjadikan teknologi sebagai sarana belajar bagi remaja. Jadi bukan teknologinya yang salah. Terus apa yang salah?
Sudah menjadi fitrah perasaan suka terhadap lawan jenis atau perasaan sayang terhadap sesama manusia. Tidak bisa disalahkan juga perasaan yang sudah menjadi fitrah setiap insan manusia. Namun, rangsangan perasaan fitrah ini semakin besar pada generasi milenial karena mereka lebih sering terpapar foto, video dan audio melalui smartphone yang bisa diakses semua usia. Secara otomatis panca indera yang sering terpapar akan bekerja mengantar pesan pada sel saraf sensorik termasuk otak yang akan menstransfer informasi yang diterima panca indera. Informasi sebelumnya berperan penting dalam proses transfer pesan ini, sebelum akhirnya sel saraf motorik akan bergerak dan bereaksi terhadap paparan pesan yang diterima. Misalnya bergerak melakukan aksi untuk melampiaskan rangsangan emosi. Jika remaja milenial minim pengetahuan agama yang akan menjadi benteng terhadap paparan informasi dari foto, video dan audio. Maka hal yang wajar, sel saraf motorik akan mengikuti pergerakan perasaan yang tidak terbendung ini.
Sudah jatuh ditimpa tangga. Minimnya pemahaman agama ditambah bebasnya penyiaran di jagat maya menambah pelik keadaan remaja saat ini. Bebas sebebas-bebasnya mengakses konten pornografi, tanpa adanya persekusi dan tanpa ada yang mengeliminasi. Mau dibawa kemana nasib anak negeri. Usia mereka yang identik dengan masa-masa labil dalam rangka mencari jati diri, mengikuti apa yang sedang trendi. Hilangnya peran keluarga yang menjadi benteng pertama pertahanan diri. Karena Ayah tak lagi ada waktu menemani anak perempuan sekedar mendengar cerita. Akhirnya anak perempuan mencari laki-laki lain di luar rumah untuk sekedar berbagi. Sedangkan Ibu terpaksa menambah jam kerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Akhirnya anak lelaki mencari sosok perempuan di luar rumah untuk melepas lelah hati.
Kembalikan peran Keluarga dan Negara
Manusia lupa bahwa ia hidup diberi bekal diri dan petunjuk. Ada problem solving yang ditinggalkannya. Padahal ini kunci menjalani kehidupan. Wajar jika banyak kekacauan terjadi. Remaja pun jadi korban saat ini. Maunya manusia bebas melakukan apapun tanpa kendala satupun. Tak peduli akibat apa yang menanti di depan sana, termasuk lupa ada pertanggungjawaban atas perbuatan. Tidak terlepas asas sekuler yang mendasari.
Negara wajib menjaga keluarga dan termasuk remaja didalamnya. Keamanan dalam mengakses internet bagi remaja yang bebas dari konten pornografi yang merangsang nafsu birahi. Ketersedian pendidikan berbasis akidah yang akan membentengi remaja dalam menentukan pilihan perbuatannya. Serta tersedianya pekerjaan bagi kepala keluarga sehingga ibu tidak perlu menambah jam kerja ke luar rumah untuk membantu suami memenuhi kebutuhan materi. Dengan demikian diharapkan optimalisasi peran keduanya dalam mendidik remaja menemukan jati diri. Harapan tercapainya kesehatan bagi semua akan lebih mudah jika Negara mau menerapkan petunjuk secara kaffah. Petunjuk siapa lagi kalau bukan dari Pencipta Alam Semesta. Karena tidak ada yang mengetahui karakter asli manusia, kelebihan dan kekurangannya, serta aturan yang cocok untuk diterapkannya kecuali dari Pencipta.