Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Momok HIV adalah fenoma gunung es yang kecil di permukaan namun sangat besar dan berakar di bagian yang tersembunyi. Informasi yang terdedak di publik menunjukkan bahw HIV terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data yang menunjukkan informasi tersebut. UNICEF pernah merilis tulisan bahwa jumlah kematian HIV / AIDS di kalangan remaja di seluruh dunia yang meningkat sebesar 50 persen antara tahun 2005 dan 2012 menunjukkan tren mengkhawatirkan (http://www.dw.com, 1/12/2013). Di Indonesia, BKKBN memberitakan bahwa berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan (Laporan Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia per Triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI) sampai dengan Bulan September 2014 terdapat 150.296 orang HIV/AIDS positif dan 55.799 orang pengidap AIDS dimana 64,5% adalah generasi muda usia produktif yakni usia 15 – 39 tahun (http://www.bkkbn.go.id, 11/02/2015).
Di Blitar, Penyebaran virus HIV/AIDS di Kabupaten Blitar, kian hari kian memprihatinkan. Data yang dimiliki Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar menyebutkan, setidaknya penderita baru selalu ada dalam setiap bulannya. Kabid Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, DinKes Kabupaten Blitar, Krisna Yekti, menyatakan jumlah penderita HIV/Aids yang masih hidup berjumlah 971 sedangkan 361 sisanya meninggal dunia. Ia menambahkan, faktor seks bebas diduga masih menjadi penyebab menularnya virus HIV/AIDS (jatimnow.com, 06/11/2018).
Menarik apa yang disampaikan oleh DinKes Kabupaten Blitar di atas, bahwa seks bebas diduga menjadi penyebab penularan HIV. Tentunya dugaan ini bukan sembarangan, sebab dengan pengkajian lebih jauh justru akan didapatkan kenyataan pahit bahwa seks bebas adalah pemicu utama dari penularan virus mematikan ini. Dalam laporan yang dikeluarkan Komisi Nasional Penanggulangan AIDS Nasional dalam simposium internasional mengenai AIDS yang diikuti peserta dari negara anggota ASEAN di Hotel Mason Pine, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, diungkapkan bahwa perilaku heteroseksual atau seks bebas kini menjadi penyebab dominan dalam penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Kondisi berbeda terlihat dalam lima tahun silam yang masih kebanyakan oleh pertukaran jarum suntik (sains.kompas.com, 21/11/2011). Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Anambas Islam Malik, yang mengakui terjadi trend peningkatan penderita HIV AIDS. Malik menyebutkan prilaku warga yang melakukan sek bebas menjadi penyebab utama penyebaran penyakit ini (batampos.co.id, 20/03/2018).
Artinya akar masalah mengapa virus HIV sampai menjadi hantu bukan fiktif bagi masa depan generasi adalah karena seks bebas itu sendiri. Maka mau tidak mau, untuk memutus mata rantai HIV adalah dengan mengakhiri seks bebas itu sendiri. Seks bebas ini awalnya dipicu oleh pergaulan bebas yang sengaja dikampanyekan di kalangan muda-mudi sebagai bagian dari kebebasan berperiaku. Dalam alam yang serba demokratis seperti saat ini, kebebasan berperilaku harus diakomodir dengan dalih agar tidak mematikan hak asasi.
Akan tetapi, tatkala kebebasan berperilaku tersebut tidak terkendali, dapat berakibat fatal. Mengapa? Atas nama kebebasan bertingkah laku, aktivitas saling menasehati dianggap sebagai bagian dari ikut campur privasi orang lain, melanggar hak asasi. Bahkan pada kasus penularan HIV ini, atas nama menghormati hak asai pula, digiring opini secara sistematis masyarakat tidak berlaku diskriminatif terhadap penderita HIV alias mau berbaur dengan ODHA. Jika masyarakat dipaksa untuk berbaur dengan ODHA lantas apakah arti dari upaya pencegahan penularan HIV? Mengapa jika terbukti virus itu aman (-sehingga setiap orang harus tidak menjaga jarak), justru dari tahun ke tahun jumlah penderita semakin banyak?
Akhirnya, orang sehat harus semakin jeli. Jangan sampai usaha mencegah justru menjadi memperparah. Terlebih selama ini gagasan pencegahan HIV/AIDS, yang selama ini menginduk pada program kampanye pencegahan HIV/AIDS yang kerap disebut ABCD tidak sukses, lantaran tidak membabat akar masalahnya. Penanganan hanya focus pada dampak pergaulan bebasnya, tidak pada bagaimana mengakhirinya. Pun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program kondomisasi lebih menonjol. Padahal, orang bodoh pun tahu bahwa menyodorkan komdom sama saja dengan menyuburkan seks bebas. Apalagi, faktanya kondom justru dibagi-bagikan di lokasi-lokasi prostitusi, hotel dan tempat-tempat hiburan yang rentan terjadinya transaksi seks.
Maka, jika ingin silkus HIV segera selesai, pergaulan bebas harus distop. Namun, berharap pada sistem demokrasi yang menjadi induk lahirnya kebebasan jelas bukan caranya. Satu-satunya solusi mencegah pergaulan bebas yang komphrehensif adalah Islam dengan kombinasi sistem pendidikan dan sistem pergaulannya. Duet itu akan melahirkan imunitas bagi HIV. Selain sistem pendidikan dengan kebijakan negara, Islam mewajibkan pembentengan pergaulan bebas bermula dari keluarga. Di dalam institusi keluargalah setiap orang akan mendapatkan pendidikan yang utama dan pertama dari kedua orang tuanya. Di dalam keluarga dapat dikokohkan aqidah. Baik itu ditanamkan ketauhidan, pengajaran ritual, sekaligus pengetahuan tentang mana-mana saja budaya asing yang sejalan dengan keyakinannya dan mana-mana yang tidak, termasuk di antaranya pergaulan bebas.
Hanya saja kekuatan benteng dari keluarga dan ketaqwaan individu muslim dalam menjalankan syariat agamanya ini akan tertatih-tatih tatkala mereka dibiarkan hidup di lingkungan yang justru menyemarakkan liberalisme berwujud kebebasan berperilaku tadi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari segenap masyarakat dan juga institusi yang lebih besar guna mengawal perlindungan masa depan remaja ini. Perlu ada warga saling proaktif, saling peduli untuk mengingatkan dan mencegah dari keburukan. Tanpa kepedulian dari masyarakat, upaya keluarga bisa jadi sia-sia belaka, apalagi jika sistemnya cenderung jauh dari Islam.
Dan tentunya diperlukan juga peran negara yang lebih signifikan dalam membentuk sistem dan tata aturan dalam masyarakat. Tanpa kesatuan aturan dari negara, masyarakat kita terpecah menjadi kelompok yang menolak segala bentuk gaul bebas dan kelompok penikmat gaul bebas dari sisi pelakunya sendiri. Seks bebas dibenci, namun video porno tetap diproduksi dan masih ada yang mencari. Di sinilah pentingnya negara bertanggung jawab membuat formula yang mampu menangkal semua bentuk serangan yang mengarah pada seks bebas.
Dalam Islam, negara berkewajiban mengawal penerapkan sistem pergaulan yang disyariatkan Allah SWT. Seperti: perintah baik kepada laki-laki maupun perempuan agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya (QS an-Nûr [24]: 30-31); perintah agar memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan serta mencegah ikhtilat (campur baur); mendorong yang mampu untuk segera menikah, bagi yang belum mampu menikah, maka agar mereka memiliki sifat ‘iffah (senantiasa menjaga kehormatan) dan mampu mengendalikan diri (nafsu); larangan bagi kaum perempuan untuk ber-tabarruj (QS an-Nûr [24]: 60); larangan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling berpegangan tangan atau berciuman karena bisa membangkitkan naluri seksual dan mendekati zina (QS. Al Isra [17] : 32); memberi sanksi kepada semua pelaku yang terbukti merusak tatanan pergaulan baik dengan tindakan maupun dengan memunculkan berbagai media dan sarana kepornoan.
Jadi jelaslah bahwa Islam memiliki standar larangan dalam mengatur hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan (yang biasa disebut pacaran), meskipun dilakukan secara ‘sehat’ (tidak berorientasi pada hubungan seksual). Sebab, hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan sehat hanya akan terjadi dalam pernikahan, bukan dalam pergaulan bebas. Jika tidak ada pergaulan bebas, maka penularan HIV otomatis terhenti. Dengan demikian, solusi pemutusan mata rantai HIV dan pencegahan pergaulan bebas adalah dengan menerapkan Islam. Jika sekarang belum ada, itulah yang harus jadi fokus untuk diperjuangkan. [Arin RM].