Oleh : Sri Purweni
(Praktisi Pendidikan)
Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I), Titi Purwaningsih mengatakan, aksi unjuk rasa itu sudah dilakukan sejak Selasa (30/10/2018). Ia mengklaim guru honorer yang ikut aksi mencapai 70.000 orang dari 34 provinsi. Namun karena tak ada tanggapan Jokowi atau pihak Istana, akhirnya massa pun bermalam di sana dengan beralaskan aspal dan beratapkan langit ,Tribun Timur (02/10/18).
Sikap Presiden Jokowi yang tidak menemui aksi guru honorer K2 di istana beberapa waktu lalu dikritik mantan menterinya, Sudirman Said. Menurut Sudirman, dunia pendidikan, termasuk kesejahteraan guru, jauh lebih penting dari pembangunan infrastruktur, DetikNews (05/10/18).
Memang peran Oemar Bakri (guru) saat ini sudah tak bisa dianggap remeh. Bahkan seiring perkembangan generasi milenial, guru sangat memegang peran penting guna mengantarkan kesiapan generasi penerus peradaban. Di tangan para guru generasi penerus dibentuk untuk siap menghadapi tantangan masa depan. Jadi tugas berat guru tak dapat dianggap main-main.
Alangkah miris nasib guru honorer dengan gaji yang tak layak untuk mencukupi keperluannya sendiri, apalagi keperluan keluarga. Lantas bagaimana ia akan tenang menjalani kehidupannya dan berkonsentrasi dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik.
Kesedihan nasib guru honorer yang tanpa kepastian itu tak mendapatkan tanggapan dari pemerintah karena mereka tak dapat bertemu dengan pengambil kebijakan yang dapat memberikan solusi atas keinginan mereka untuk mendapatkan kejelasan status hingga mereka dapat berpenghasilan yang layak.
Sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahan Islam, para guru hidup terhormat dan mendapatkan penghasilan yang sangat layak, sebanding dengan jasa mereka yang memang sangat besar untuk umat.
/Masa Khalafur Rasyidin/
Umar menetapkan kebijakan :
كان بالمدينة ثلاثة معلمين يعلمون صبيان فكان عمر يرزق كل واحد منهم خمسة عشر كل شهر.
"Di Madinah ada tiga orang yang ditugaskan untuk mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar memberikan kepada setiap orangnya 15 dinar setiap bulan.(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Jika 1 dinar kita hitung kasar bernilai 2 juta saja, berarti gaji mereka 30.000.000 perbulan.
/Masa Umayyah/
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat instruksi kepada para gubernurnya :
انظروا إلى القوم الذين نصبوا أنفسهم للفقه ، وحبسوها في المسجد عن طلب الدنيا ، فأعط كل رجل منهم مائة دينار يستعينون بها على ما هم عليه من بيت مال المسلمين.
"Buatlah pendataan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ilmu Fikih, serta lebih sibuk untuk mengajar ketimbang urusan dunia. Setelah itu, serahkan kepada mereka masing-masing uang sebanyak 100 Dinar dari kas negara."
/Masa Abasiyah/
Harun ar Rasyid mengeluarkan kebijakan untuk menimbang dengan emas setiap karya ilmiah para guru dan ulama kala itu, baik karangan mereka ataupun hasil terjemahan.
/Masa Ayubiyah/
Shalahuddin menetapkan gaji yang berbeda-beda untuk para guru kala itu, mulai dari yang terendah 10 Dinar, sampai 40 Dinar perbulannya
40 dinar = 80 juta setiap bulannya
Mengisahkan kembali gilang gemilangnya muslimin dalam membangun peradaban di masa lalu tentu bukan bertujuan sekedar menguak kenangan indah yang hanya akan menambah kepiluan nasib para guru yang terbatas oleh anggaran yang disediakan negara.
Tapi agar kita bisa mengambil ibrah, hikmah dan pelajaran yang agung dari para pendahulu kita, yang dapat menerapkan sistem pemerintahan yang dapat menyejahterakan para Oemar Bakri hingga mereka dapat merasakan hidup di alam yang gemah ripah loh jinawi.
Para Oemar Bakri adalah pahlawan tanpa tanda jasa namun mereka perlu kesejahteraan dan tanpa dibedakan statusnya karena sama dedikasinya dalam mendidik anak bangsa. Dapatkah negara kita menjamin kesejahteraan guru? Tanpa harus menuntut?
Sudah semestinya negara kita yang terkenal dengan berbagai sebutan negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi tentunya dapat mengelola sendiri sumberdaya alam yang melimpah dari emas hitam (batu bara), minyak bumi dan berbagai bahan tambang. Apalagi kita dikaruniai negeri yang subur semestinya anak bangsa sejahtera penghidupannya.
Bukan menyerahkan urusan pengelolaan sumber daya alam (SDA) itu pada asing atau aseng hingga kesejahteraan anak bangsa sendiri tergadai.
Sudah saatnya negeri ini bangkit berani menolak kesepakatan dengan pihak luar yang tak menguntungkan! Hingga sejahtera bukan lagi diimpikan namun terasa nyata di kehidupan. Wallahualam.
Sumber referensi: Maraji (Kitab Min Rawai Khadaratina karya M. As siba'i)