Peringatan hari Santri yang Ternodai

                                          

                            Oleh : Sri Purwanti, member Akademi Menulis kreativ

          Hari santri nasional ditetapkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober tiga tahun yang lalu(Kompasiana/23/10/2018). Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti (1) orang yg mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yg saleh); (3)Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.

Peringatan hari santri nasional ini di  harapkan bisa mengukuhkan pentingnya peran santri dalam membangun bangsa. Sejarah perjuangan santri dalam mempertahankan negara perlu diperkenalkan kembali sebagai satu upaya dalam menumbuh-kembangkan semangat berbangsa di kalangan santri.

Sikap responsif santri atas fatwa ulama tentang kewajiban jihad melawan penjajah dan mati syahid bagi yang wafat di medan tempur, tentunya harus dicatat rapi dalam lembaran sejarah bangsa. Semangat jihad santri demi Tanah Air tercinta dan kiprah mereka dalam perjuangan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan, memang kurang diketahui oleh masyarakat. Padahal santri telah turut memberikan sesuatu yang penting bagi bangsa ini.

       Akan tetapi peringatan hari santri tahun ini, ternoda karena adanya insiden pembakaran bendera tauhid yang di lakukan oleh oknum Banser di Garut. Hal ini tentu memicu reaksi keras dari umat Islam karena bisa di kategorikan tindakan penistaan terhadap kalimat tauhid, meskipun dari pelaku pembakaran menyatakan bahwa yang mereka bakar adalah bendera ormas tertentu, bukan bendera tauhid. Ketua Ansor Yaqut Cholil qoumas, membenarkan peristiwa itu, bahkan menurut Gus Yaqut, hal  itu dilakukan untuk menghormati kalimat tauhid itu sendiri(detikNews,23/10/2018).  

    Hal ini sungguh sangat sulit untuk di terima akal sehat. Karena banyak sekali hadis baik Hasan maupun yang shahih menjelaskan tentang  Al Liwa dan Ar raya ini.Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah (Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:

عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).

Dalam hadis lain dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih .


        Kalimat  لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ merupakan ciri keagungan Islam, kalimat ini pula yang tertulis di dalam Al Liwa dan Ar raya, yang merupakan simbol tauhid, kedua Panji itu merupakan syiar pemersatu dan berfungsi sebagai pemersatu umat Islam. Tindakan pembakaran bendera tauhid ini sungguh tidak bisa di benarkan dan juga keliru jika di qiyaskan dengan pembakaran Al Qur'an pada masa Khalifah Ustman , karena pembakaran pada masa Khalifah Ustman tujuannya adalah :

1.untuk standarisasi mushaf, sehingga mushaf yang di pakai adalah mushaf yang diproduksi oleh pemerintah pada masa itu.

2. Standarisasi mushaf dilakukan oleh pemegang otoritas syariah, yakni Khalifah yang wajib ditaati. Apa yang diputuskan oleh Khalifah adalah bagian dari hukum syariah.

Karena itu jika di qiyaskan dengan pembakaran bendera tauhid oleh salah satu ormas tertentu adalah salah kaprah/qiyas ma'a al-fariq (kaffah/26/10/2018).


          Dalam buku “Hāsyiyatāny” (1956: IV/175-176) yang merupakan gabungan dari karya Qalyuby dan ‘Umairah –ulama bermadzhab Syafi’i- disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja meludah, membuang kotoran atau menginjak sesuatu yang di dalamnya terdapat potongan ayat Al Quran atau asma Allah maka itu termasuk perbuatan yang mengantarkan seseorang kepada kekafiran. seperti yang kita ketahui bendera yang di bakar ada lafadz 

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Yang berarti ada asma Allah dan Rosullulah yang seharusnya kita muliakan. Umat Islam juga seharusnya berjuang bersama untuk mengembalikan kemuliaan keduanya sebagai Panji tauhid, identitas Islam dan kaum muslimin sekaligus pemersatu di antara mereka semua. Sudah seharusnya peringatan hari santri nasional ini menjadi momen untuk mengembalikan ghirah keislaman yang mulai memudar seiring berkembangnya paham sekulerisme dan liberalisme yang menguasai seluruh penjuru dunia.


 







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak