Oleh: Sundari (komunitas Peduli Umat)
Tidak ada angin tidak ada hujan kaum muslimin kurang lebih sepekan ini telah digegerkan dengan peristiwa pembakaran kalimat tauhid yang dilakukan oleh oknum tertentu, yang mereka klaim adalah bendera ormas tertentu. Padahal seyogianya bendera tersebut merupakan bendera Rasulullah, bendera umat muslim di seluruh dunia.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI) bahwa bendera yang dibakar dalam insiden tersebut merupakan bendera tauhid bukan bendera HTI, karena menurut MUI tidak menjumpai adanya lambang Hizbut Tahrir Indonesia di bendera tersebut. MUI pun mengharapkan kepada para oknum untuk meminta maaf.
Alih-alih untuk meminta maaf ketua oknum tersebut menyampaikan bahwasanya tindakan para anggotanya membakar bendera tauhid tersebut karena untuk menyelamatkan dan menjaga kesucian dari kalimat tauhid tersebut, sehingga kalimat tersebut tidak digunakan di sembarang tempat yang dapat membahayakan ataupun menghilangkan kesucian dari kalimat tauhid itu sendiri.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah tepat jika aksi pembakaran bendera tauhid itu diperbolehkan dengan alasan sabdu dzariah karena membahayakan kalimat tauhid?. Apabila kita memahami lebih dalam kata sabdu dzariah merupakan bentuk frase yang terdiri dari 2 kata yaitu sabdu (menutup) dan dzariah (jalan, sarana, wasilah atau sebab terjadinya sesuatu).
Imam Al-Gorafi menjelaskan sabdu dzariah adalah memotong jalan kerusakan sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut, meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana akan terjadinya suatu kerusakan, maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. sementara itu dalam karyanya Al-Muufaqat Asy-Syatibi menyatakan bahwa sabdu dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh agar tidak menghantarkan kepada sesuatu yang dilarang (al-muwafaqat fi ushul al-fiqh, 257).
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa sabdu dzariah merupakan suatu metode penggalian hukum Islam dengan cara melarang, menutup jalan atau wasilah suatu amalan yang diduga dapat menimbulkan suatu hal yang merusak atau membahayakan.
Kemudian bagaimana seharusnya sabdu dzariah diterapkan?. Dalam menerapkan sabdu dzariah tentu tidak boleh lepas dari pengkajian terhadap potensi bahaya atau kerusakan (mafsadah) dibalik objek perbuatan yang akan dihukumi, karena itu sangat berpengaruh pada hukum yang akan disimpulkan. Suatu wasilah yang jelek dapat menghantarkan kepada perbuatan haram, maka wasilah tersebut hukumnya juga haram dilakukan, misalnya menjual anggur pada aslinya boleh, namun akan menjadi haram bila diwujudkan kepada pembuatan khamer (minuan keras), sebab barang tersebut akan digunakan untuk menciptakan barang haram.
Sehingga upaya menentukan mafsadah menjadi basis utama dalam menerapkan sabdu dzariah dan merupakan satu hal yang menjadi titik tekan para ulama bahwa tolak ukur dalam penentuan maslahat (kebaikan) atau mafsadah (keruskan) tidak bisa diputuskan hanya melalui akal manusia semata, melainkan patokannya harus diukur dengan syariat Islam.
Karena itu para ulama menetapkan beberapa ketentuan khusus ketika menggunakan sabdu dzariah sebagai dasar hukum. Sehingga siapapun tidak bebas menggunakan metode ini untuk menyimpulkan sebuah hukum hanya karena potensi bahaya yang ada dalam dugaannya saja. Diantara ketentuan tersebut adalah.
Satu, wasilah atau perbuatan yang diperbolehkan tersebut sangat berpotensi terjadinya kerusakan, tapi bila potensi kerusakannya hanya sebatas dugaan, maka perbuatan tersebut tidak terlarang. Kedua, masalah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut sama nilainya dengan maslahat (kebaikan) yang didapatkan atau bahkan lebih banyak mafsadahnya. Maka perbuatan tersebut menjadi haram dilakukan. Ketiga, standar penentuannya tidak disyariatkan harus sesuai dengan niat atau kehendak mukallaf. Namun tetap dilihat dari potensi mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut menurut keumumannya. Keempat, apapun yang dilarang karena dasar sabdu dzariah akan diperbolehkan bila ada hajat yang mendesak, seperti seorang qadhi yang perlu melihat wanita ajnabi dalam persidangan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penggunaan sabdu dzariah untuk membenarkan pembakaran bendera tauhid jelas bertolak belakang dengan prinsip kaidah itu sendiri, sebab potensi bahaya atau kerusakan diukur bukan atas dasar nilai-nilai syar'i, namun murni didasarkan pada akal atau kepentingan segelintir orang. Berikut potensi bahaya yang disebutkan pun juga masih sebatas dugaan yang belum pasti jadi penggunaan sabdu dzariah dalam aksi tersebut perlu dikaji ulang.
Tidak berhenti disitu saja. Pembolehan pembakaran bendera tauhid dengan alasan sabdu dzariah tidak sesuai dengan kaidah maqashidu syariah. Dalam kajian maqashidu syariah memuliakan lafaz tauhid dan syariat Islam lainnya, seperti mengagungkan Alquran atau menjaga kesucian masjid bisa disebut bagian dari bentuk penjagaan terhadap agama dalam pandangan maqashidu syariah, menjaga agama, simbol-simbol Islam merupakan bagian dari memuliakan Allah.
Oleh karena itu, pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap penjagaan agama. Jika demi menjaga jiwa saja tidak dibenarkan ketika harus mengorbankan agama bagaimana dengan alasan-alasan lainnya. Olehnya itu negara sepatutnya harus memberikan sanksi tegas terhadap pelaku pembakaran bendera tauhid, yang mana mengingat itu merupakan salah satu pokok dari pembelaan terhadap agama Islam. Wallahuh a’lam bishawab.