Oleh: Iis Purwanti (Ibu Rumah Tangga)
Tahun 2018 akan segera berakhir, tibalah tahun 2019. Tahun di mana diprediksikan akan menjadi tahun yang panas disebabkan akan berlangsungnya Pemilihan Presiden untuk periode 2019 - 2024 mendatang. Meski Pemilu ini akan dilangsungkan di tahun depan, akan tetapi rivalitas diantara kedua calon presiden sudah mulai terasa panas di beberapa bulan terakhir. Terbukti dengan beberapa manuver yang gencar dilakukan kedua kubu dari mulai cara yang elegan sampai cara 'asal-asalan'.
Banyak manuver politik yang dilakukan kedua kubu yang dirasa kurang pas dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai politikus. Saling serang dengan isu dan hoax di media sosial sampai melakukan budaya 'sindir-sampir' (saling sindir) kedua calon dan pendukungnya dalam berbagai kegiatan orasi politik, dialog, wawancara dan lain sebagainya sampai melakukan semacam 'kampanye terselubung' melalui pembuatan film. Meski bagi sebagian pendukung kubu, film dianggap sebagai sarana pendidikan dan pembuka wawasan berpolitik masyarakat. Namun dirasa sangat kental dengan penggiringan opini massa agar bisa menentukan pilihan dan dukungan.
Tanggal 8 November 2018 sebagaimana info yang memang ramai di berbagai lini media sosial akan dirilis perdana, pemutaran Film A Man Called Ahok dan Film Hanum & Rangga. Akan menjadi menarik untuk membahas kedua film tersebut karena sebagaimana yang sudah diketahui kedua film tersebut diangkat dari kisah nyata, bersumber dari novel Buku Novel The Faith and The City karya Hanum dan buku A Man Called Ahok karya Rudi Valinka).
Masyarakat tentu sudah bisa menilai, jangan-jangan kedua film ini memang sarat dengan kepentingan politiknya mengingat Hanum dan Ahok dikenal sebagai dua tokoh yang memiliki pandangan politik yang berseberangan. Ahok di kubu petahana dan Hanum Rais yang merupakan anak dari politikus Amin Rais berada di kubu rivalnya.
Jika benar bahwa kedua film ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan politik melalui visualisasi keseharian kedua tokoh yang diceritakan, dengan tujuan menarik simpati masyarakat sebagai pemilik 'suara' agar bisa melabuhkan pilihan di kubu yang didukung masing-masing tokoh di film tersebut. Maka sangat disayangkan karena tentu pertama, tidak semua masyarakat bisa menyaksikan, kedua meski diangkat dari kisah nyata namun apabila sudah sarat kepentingan tentu akan hilanglah 'orisinalitas' dari kisah nyata yang diharapkan mampu menyampaikan berbagai pesan moral tsb. Dan terakhir tentu ini tidak sesuai apabila dikomparasikan dengan bagaimana metode Islam dalam mencerdaskan Umat dan membangkitkan wawasan politik mereka dalam Islam.
Islam memandang Politik sebagai satu upaya pengelolaan berbagai urusan Umat dengan Islam. Yang artinya segala sesuatu yang dikerjakan dalam aktivitas politik haruslah bersandar pada dalil bukan dalih sebagaimana hari ini. Alih-alih menyampaikan pesan moral, kedua film yang digadang-gadang sebagai representasi kedua calon yang akan bertarung di pilpres 2019 mendatang lebih cenderung sebagai salah satu usaha untuk memenangkan pertarungan. Berlomba-lomba meraup suara agar bisa menjadi pemimpin, sementara dalam Islam para Sahabat Khulafaur Rasyidin (Radiyallahunanhum) dan generasi setelahnya justeru saling enggan dan khawatir, karena mereka sadar terhadap beratnya pertanggungjawaban mereka di Yaumil Hisab kelak ketika dimintai jawaban atas apa-apa yang mereka pimpin.
Umat Islam hari ini harus difahamkn tentang Politik Islam (Siyasah Islam), bagaimana konsep (fikroh) dan metode (Thariqah) yang ditetapkan dalam Islam untuk merealisasikan Politik Islam yang bersumber dari Al-Qur'an as-Sunnah. Politik yang dicontohkan Rasulullah Saw dan Para Sahabat setelahnya, yang telah mampu membuktikan Kegemilangan Islam di berbagai kondisi zaman. Tahrirunas min ibadatil ibad Illa ibadatilah, membebaskan manusia dari penghambatan kepada sesama hamba (manusia) menjadi penghambat yang ditujukan kepada Allah SWT semata.
Wallahu ‘alam Bi Shawwab.