Oleh : Melani Widaningsih (Ibu Rumah Tangga)
Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang upaya meningkatkan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap pajak dengan mewajibkan seluruh mahasiswa di Indonesia agar memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sepertinya disambut baik oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Ini karena Menteri Ristekdikti, Muhammad Natsir sudah menyampaikan wacana ini kepada jajaran rektor Perguruan Tinggi di Indonesia. Ia meminta setiap mahasiswa yang diwisuda setiap tahunnya harus sudah diwajibkan kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). "Sehingga kalau ini (NPWP) sekaligus dia keluar saat wisuda dia sekaligus menerima kartu NPWP itu akan bagus sekali. Di satu sisi pembelajaran harus dilanjutkan, di sisi lain ini harus ditindaklanjuti," kata dia dalam acara Pajak Bertutur di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/11).
Sementara itu di kesempatan lain, berbeda dengan Muhammad Natsir, dilansir dari suaranasional.com, Salim Hutadjulu ketua aktivis Malari 74 mengatakan “Harusnya mahasiswa bukan dibebankan untuk membayar pajak,” ungkapnya. Kata Salim, mahasiswa sebagai generasi bangsa harusnya diberi subsidi agar dapat menyelesaikan studinya. “Minimal sarjana sudah lulus dan bisa mengabdi ke masyarakat dan negara,”. Negara mengalami kesulitan keuangan dengan diwajibkannya mahasiswa memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Demikian dikatakan aktivis Malari 74 papar Salim. (https://suaranasional.com/2018/11/12/mahasiswa-dikenai-npwp-aktivis-malari-74-negara-alami-kesulitan-keuangan/)
Dalam konteks sistem ekonomi Kapitalisme, hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat wajar dan mudah difahami. Didalam aturan kapitalisme, Pemerintah membebankan pajak di berbagai lini, penghasilan, pembelanjaan dan kepemilikan. Maka pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme dianggap sebagai penopang utama keberlanjutan dan kestabilan ekonomi suatu negara.
Dalam Islam, Pajak atau yang dikenal dengan istilah dlaribah pada dasarnya adalah harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal kaum muslim mengalami kekosongan harta. Baitul mal sendiri memiliki pos-pos pemasukan yang berasal dari fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum yang dialihkan menjadi milik negara. Semua itu cukup untuk membiayai apa yang diwajibkan atas baitul mal pembiayaannya, baik dalam kondisi ada uang/harta maupun tidak, yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya. Pada kondisi itu, negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum Muslim. Jika tidak ada uang/harta di baitul mal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum Muslim untuk membiayainya. Maka di dalam Islam, Pajak tidak serta merta diambil dari kaum Muslimin. Mereka yang dimintai pajak hanyalah orang-orang dengan kepemilikan harta yang lebih, itupun jika setelah dipotong biaya kebutuhan pokok terdapat kelebihan harta. Jika tidak ada kelebihan, maka tidak dibebankan pajak. Inilah perbedaan mencolok pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme dan Islam. Jadi, masih tidak mau hidup diatur oleh aturan Islam? Sungguh terlalu!
Wallahu ‘alam Bi Shawwab