Oleh Erlina YD
Seorang muslimah haruslah menyadari tentang fitrah-fitrah yang dimilikinya. Dia harus paham terhadap hukum syara yang mengatur fitrahnya tersebut, serta memahami konsekuensi atas aturan pencipta-Nya terhadap fitrah yang dimilikinya. Provokasi-provokasi atas fitrahannya tidak akan menarik minat serta menjebak dirinya dalam ide-ide sesat beracun yang seolah-olah berbalut madu.
Perempuan-perempuan saat ini banyak dicekoki ide kesetaraan gender dimana ada dominasi laki-laki terhadap wanita. Akibat dominasi ini, digambarkan membuat perempuan tidak bisa maju, mereka ‘diikat’ dengan banyak aturan primordial (baca: Islam) yang sangat mengekang. Selain itu, dengan aturan tersebut semakin membuat wanita terkuasai penuh oleh laki-laki. Laki-laki akan semakin mudah melampiaskan dominasinya tersebut.
Disampaikan pula bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat, bahkan ‘femicide’ (pembunuhan terhadap perempuan) juga meningkat. Pada tahun 2017 terdapat hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan dilaporkan. Menurut catatan tahunan dari Komnas Perempuan, terdapat 173 perempuan yang dibunuh di Indonesia pada tahun 2017, dengan 95 persen di antaranya dibunuh oleh laki-laki.
Belum lagi tingginya angka kematian ibu serta terpaksa menjadi ‘single parent’ sehingga harus berjuang sendiri menghidupi diri dan anaknya. Selain itu, terjadi banyak pelecehan seksual baik di tempat kerja maupun di tempat-tempat umum semakin membuat perempuan seolah menjadi makhluk tertindas dan tak berdaya. Hal ini serta merta semakin membuat perempuan dipaksa menerima takdirnya sebagai kaum tertindas dan tak berdaya.
Ide-ide tersebut terus dijajakan di negeri-negeri dengan mayoritas muslim. Yaitu para muslimahnya digambarkan sebagai makhluk terbelakang yang kurang punya masa depan. Tidak sedikit para muslimah tercekoki dengan ide-ide sesat ini bahkan menjadi pengusung serta penyebar idenya. Tuntutan kebebasan bagi perempuan ini muncul dari rahim demokrasi liberal.
Sebagai akibat dari kehidupan liberal tersebut maka memandang perempuan sebagai warga kelas dua, yang bahkan dulu di Eropa perempuan sama sekali tidak bisa memiliki hak pilih. Bahkan pada beberapa periode, seorang perempuan tidak bisa sama sekali memiliki hak atas diri dan tubuhnya. Lihatlah kehidupan bangsa Arab sebelum Islam datang, ketika seorang lelaki mengetahui istrinya melahirkan bayi perempuan maka langsung dibunuhlah bayi tersebut. Memiliki bayi perempuan saat itu dianggap aib.
Pada masa romawi kuno, wanita hanya dijadikan budak seks dan ‘pabrik’ bayi. Mereka tidak bisa memilih dan menolak ketika ada lelaki yang menjadikannya budak seks. Sedangkan pada masa Yunani kuno, bahkan mereka mendefinisikan dan menempatkan perempuan berbeda dengan manusia (laki-laki). Perempuan dianggap makhluk lain di luar manusia. Ketika perempuan sedang menstruasi, maka perempuan akan dibuang atau dikucilkan di gunung atau tempat yang jauh dari jangkauan manusia. Karena dianggap saat haidh, perempuan dalam keadaan kotor dan banyak pengaruh buruk jika berdekatan dengannya.
Maka wajarlah muncul tuntutan dan gerakan agar perempuan dimanusiakan, perempuan harus bisa menentukan pilhan atas tubuhnya, perempuan harus setara dengan laki-laki. Gerakan ini kemudian menamakan dirinya gerakan feminis. Dengan gelontoran dana yang besar dari Barat, gerakan feminis ini dimasifkan di negeri yang mayoritasnya muslim. Mereka menganggap bahwa ajaran kolot dan primordial (baca: islam) justru banyak membuka celah penindasan dan diskrimansi terhadap perempuan.
Ajaran-ajaran yang dianggap bisa menindas perempuan di antaranya: bolehnya seorang lelaki memukul perempuan (istri atau anaknya) jika bebuat kesalahan, perempuan hanya menerima waris separuh dari laki-laki, wajibnya perempuan menutup seluruh tubuhnya yang dianggap ini sebagai kungkungan terhadap kebebasannya, dan masih banyak lagi.
Yang cukup miris adalah adanya tuntutan 'Childfree', yaitu kehidupan rumah tangga yang bebas dari anak-anak. Ketika perempuan menikah, maka jangan dipaksa untuk memiliki anak. Mereka berpendapat, bahwa anak akan menyulitkan kehidupannya, anak pun akan menjadi beban dan tanggung jawab besar untuk dirawat yang justru akan membuat mereka sengsara jika tidak terawat.
Maka para perempuan ini akan memilih pasangan yang sama-sama satu visi terkait ini. Bisa dibayangkan jika ini menjangkiti mayoritas perempuan yang akan menikah atau sudah menikah kemudian memilih 'childfree', ‘lost generation’ akan terpampang nyata.
Perempuan di dalam Islam
Allah SWT sebagai pencipta manusia tentu sangat paham dengan hakikat penciptaan manusia. Dengan berbagai perangkat aturan yang diberikan, akan mampu membuat perempuan hidup mulia. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan kecuali Karena ketakwaan dan keimanannya.
Allah Swt berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS adz Dzariyat : 56)
“Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” ( TQS Al Hujurat: 13).
Namun tidak dipungkiri bahwa fitrah penciptaan laki-laki dan perempuan berbeda yang tentunya juga akan ada pengaturan yang berbeda pula. Allah Swt berfirman :
“Wahai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (TQS Al Ahzab : 59)
Kemudian firman-Nya pula:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar." (TQS An-Nisa', Ayat 34)
Adanya pengaturan kepemimpinan laki-laki atas perempuan bukan dalam rangka menguasai dan memperdaya wanita. Ketika aturan Islam diberikan, justru demi kemuliaan dan menjaga perempuan dari segala hal buruk yang bisa menimpanya. Perempuan dibolehkan berkiprah di dunia luar untuk mengembangkan potensi dirinya selama tetap berpegang teguh pada aturan Allah.
Perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan sehari semalam tanpa ditemani mahram atau suaminya. Ketika akan keluar rumah harus seizin wali atau suaminya. Perintah menutup aurat serta kewajiban menundukkan pandangan akan menjadikan perempuan terjaga dari pandangan syahwat lelaki serta pelecehan seksual.
Jika yang diinginkan adalah solusi tuntas atas permasalahan perempuan serta adanya masyarakat yang peduli terhadap kondisi keterjagaan perempuan , maka tidak bisa ditopang oleh sistem demokrasi sekuler seperti saat ini. Sistem yang justru melahirkan keterpurukan pada perempuan serta kehidupan yang semakin rusak ini harus dicampakkan dan dibuang jauh-jauh. Terjaganya dan kemulian perempuan hanya akan bisa diwujudkan oleh sistem yang secara komprehensif menerapkan aturan Allah secara total. Wallahu 'alam bish showab.
Erlina YD (Penulis dari Komunitas Muslimah Peduli Generasi)